Laman

Selasa, 16 September 2014

“Bagaimana Manusia Mempersepsi Ujaran”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Waktu kita mendengarkan orang lain berbicara, kita rasanya dengan begitu saja dapat memahami apa yang dia katakan. Kita tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi-bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Hal ini kita rasakan apabila kita mendengarkan orang yang berbicara dalam bahasa asing. Kecuali bila bahasa asing kita itu telah sangat baik, biasanya kita benar-benar menyimak tiap kata yang dia keluarkan untuk dapat memahaminya. Bahkan yang sering terjadi ialah bahwa belum lagi kita menagkap dan memahami suatu deretan kata yang diucapkan, pembicara tadi telah berlanjut dengan kata-kata yang lain sehingga akhirnya kita ketinggalan. Hasilnya adalah bahwa kita tidak dapat memahami, atau tidak memahami dengan baik, apa yang dia katakan. Kita malah mendakwa orang asing itu berbicara terlalu cepat.
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek diamana kata-kata itu dipakai. Bagi penutur asli, atau penutur yang sudah fasih berbahasa tersebut, proses seperti ini tidak terasakan dan datang begitu saja secara naluri. Akan tetapi, bagi penutur asing proses ini sangat rumit.
Untuk itu kita harus dahulu dengan proses bagaimana kita mencerna bunyi-bunyi itu sebelum kita dapat memahaminya sebagai ujaran. Karena itu, dalam pembahasan ini penulis membahas tentang persepsi manusia terhadap bunyi bahasa, pertama, tentang penelitian mengenai persepsi ujaran. Kedua, masalah dalam mempersepsi ujaran. Ketiga, mekanisme ujaran. Keempat, persepsi terhadap ujaran. Kelima, model-model untuk persepsi. Dan yang terakhir persepsi ujaran dalam konteks.


1.2         Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah :
1.1.1.    Bagaimanakah cara melakukan penelitian persepsi ujaran?
1.1.2.    Apa sajakah masalah dalam mempersepsi ujaran?
1.1.3.    Bagaimana proses terjadinya mekanisme ujaran?
1.1.4.    Bagaimanakah persepsi terhadap ujaran itu?
1.1.5.    Apa saja model-model untuk mempersepsi?
1.1.6.    Bagaimana persepsi ujaran dalam konteks?
    
1.3         Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1   Untuk mengetahui penelitian mengenai persepsi ujaran.
1.3.2   Untuk mengetahui masalah dalam mempersepsi ujaran.
1.3.3   Untuk mengetahui proses terjadinya mekanisme ujaran.
1.3.4   Untuk mengetahui persepsi ujaran.
1.3.5   Untuk mengetahui model-model untuk mempersepsi.
1.3.6   Untuk mengetahui persepsi ujaran dalam konteks.












BAB II
PEMBAHASAN

1.             PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI UJARAN
Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Penelitian mengenai bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II (Gleason dan Ratner 1998).
Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi terutama dengan terciptanya alat telepon. Pada tahun 1940-an perusahaan telepun ini ini mengembangkan spektograf, yakni, alat untuk merekam suara dalam bentuk garis-garis tebal-tipis dan panjang-pendek yang dinamakn spektogram. Kini teknologi sudah dapat mengetahui siapa pembicara dalam suatu rekaman dengan akurat.

2.             MASALAH DALAM MEMPERSEPSI UJARAN
Dalam bahasa Inggris orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap detik (Gleson dan Ratner 1998). Jumlah ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini besuku satu: book, go, eat, com, dsb. Untuk bahasa Indonesia belum ada orang yang telah menelitinya,tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya bersuku kata dua atau lebih (makan, tidur, membawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diujarkan pastila lebih kecil, mungkin sekitar 80-110 kata.
Bunyi dalam bahasa mana pun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa orang Indonesia mengeluarkan jumlah bunyi antara 25-30 bunyi tiap detiknya. Dengan demikian, tiap kali kita berbicara satu menit kita telah akan mengeluarkan antara 1500-1800 bunyi.
Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita suara wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”. Suara anak lebih tinggi dari suara wanita karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan itu tentu saja memunculkan bunyi yang berbeda-beda. Meskipun kata yang diucapkan itu sama. Kata tidur yang diucapkan oleh seorang wanita, pria, dan anak tidak akan berbunyi sama.

3.             MEKANISME UJARAN
Semua bunyi yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu, semua bunyi yang udaranya keluar melewati mulut dinamakan bunyi oral. Pada mulut terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian bawah mulut. Bagian atas mulut umumnya tidak bergerak sedangkan bagian bawah mulut bisa digerakkan. Bagian-bagian ini adalah sebagai berikut:
·    Bibir: bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi yang dinamakn bilabial yang artinya dua bibir bertemu. Bunyi seperti (p), (b) dan (m) adalah bunyi bilabial.
·    Gigi: untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat berlekatan dengan bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan labiodental. Contohnya bunyinya adalah (f) dan (v). Gigi juga bisa berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi dental seperti bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Indonesia.
·    Alveolar: daerah ini berada dibelakang pangkal gigi atas. Ujung lidah dapat ditempelkan pada alveolar yang menghasilkan bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Inggris.
·    Palatal keras: daerah ini ada di rongga atas mulut, persis diblakang daerah alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan bagian depan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan alveopalatal seperti bunyi (c) dan (j).
·    Palatal lunak: daerah ini ada dibelakang rongga mulut atas. Pada daerah itu dapat dilekatkan bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang dianmakan velar seperti bunyi (k) dan (g).
·    Uvula: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula. Uvula dapat digerakkan untuk menutup saluran ke hidung atau membukanya. Bila uvula  tidak berlekatan dengan bagian atas laring maka buni udara keluar melalui hidung. Bunyi inilah yang dinamakan bunyi nasal. Bila uvula berlekatan dengan dinding laring maka udara disalurkan melalui mulut dan menghasilkan bunyi oral.
·    Lidah: lidah adalah bagian mulut yang fleksibel: ia dapat digerakkan dengan lentur . lidah memiliki bagian-bagian, yaitu ujung lidah, mata lidah, depan lidah, dan belakang lidah. Bagian-bagian ini dapat digerak-gerakkan dengan cara dimajukan, dimundurkan, dikeataskan, dan dikebawahkan untuk membentuk bunyi-bunyi tertentu.
·    Pita suara: pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun. Status selaput suara ini ikut menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan konsonan yang lain.
·    Faring: saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.
·    Rongga hidung: rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/.
·    Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.

3.1         Bagaimana Bunyi Dibuat
Di samping pembagian bunyi menjadi bunyi nasal dan oral seperti dinyatakan di atas, bunyi juga dapat dibagi menjad dua kelompok besar: konsonan dan vokal. Perbedaan antara kedua macam bunyi ini terletak pada cara pembuatannya.
3.1.1   Pembuatan Bunyi Konsonan
Bunyi dibuat dengan memanfaatkan bagian mulut seperti lidah, bibir, dan gigi. Bagian-bagian ini dinamakan artikulator. Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor. Pertama adalah titik artikulasi, yakni, tempat di mana artikulator itu berada, berdekatan, atau berlekatan.
Faktor kedua dalam membuat bunyi konsonan adalah cara artikulasi, yakni, bgaimana caranya udara dai paru-paru itu kita lepaskan. Apabila udara itu kita tahan dengan ketat di mulut lalu kemudian kita lepaskan dengan serentak maka bunyi tadi akan menimbulkan semacam letupan. Karena itu, bunyi ini dinamakan bunyi plosif atau stop. Dalam bahasa Indonesia sering diapakai istilah bunyi hambat.
Faktor ketiga adalah status pita suara. Seperti dinyatakan sebelumnya, pita suara dapat terbuka penuh, agak, tetutup, atau tertutup. Bila kita sedang tidak berbicara maka pita suara kita terbuka lebar.
3.1.2  Pembuatan Bunyi Vokal
Kriteria yang dipakai untuk membentuk bunyi vokal, yaitu:
a)      Tinggi- rendahnya lidah
            Karena lidah itu lentur, maka lidah dapat digerakkan untuk dinaikan atau diturunkan. Naik-turunnya lidah menyebabkan ukuran rongga mulut berubah.
b)      Posisi lidah
   Posisi lidah di depan atau di belakang memegang peran dalam membentuk bunyi vokal. Bila digabungkan dengan tinggi-rendahnya lidah maka akan terbentuklah bunyi-bunyi vokal tertentu.
c)      Ketegangan lidah
            Vokal juga ditentukan oleh tegan atau tidaknya syaraf kita waktu mengucapkannya. Waktu mengucapkan bunyi /i/ seperti pada kata bahasa Inggris “beat” dapat kita rasakan ketegangan syaraf pada samping leher kita, tetapi hal seperti ini tidak kita rasakan bila kata yang kita ucapkan adalah bit. Kriteria ini dinyatakan dengan istilahtense dan lax yang diterjemahkan menjadi tegang dan kendur.
d)     Bentuk bibir
            Bunyi-bunyi vokal tertentu diucapkan dengan kedua bibir dibulatkan atau dilebarkan. Pada umumnya bunyi vokal depan seperti /i/ tiba dan /e/ kere diucapkan dengan bibir dilebarkan, sedangkan bunyi vokal belakang seperti /u/ buku dan /o/ ruko dengan bibir dibulatkan.
3.1.3  Fonotaktik 
Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk menggabungkan fonem agar menjadi suku dan kemudian kata.  Dengan demikian maka tidak mustahil adanya dua bahasa yang memiliki beberapa fonem yang sama tetapi fonotaktiknya, yakni, sistem pengaturan fonemnya berbeda. Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, misalnya, memiliki fonem /p/, /s/, /k/, /r/, dan /l/. Akan tetapi, fonotaktik bahasa Inggris memungkinkan penggabungan /s-p-r/ dan /s-p-l/ pada awal suku seperti pada kata-kata sprite /sprat/ dan split /split/.
Bahasa Inggris sangat kaya dengan gugus konsonan: ada 45 gugus yang dapat berada di awal, dan 190 gugus di akhir kata (Fries 1945). Bahasa Indonesia tidak kaya dengan gugus konsonan, tetapi bahasa Indonesia modern kini telah menyerap gugus asing sehingga memungkinkan adanya tiga konsonan di awal suku, meskipun bentuk-bentuk ini hanya terdapat pada kata-kata pinjaman.
3.1.4  Struktur Sukukata
Suatu sukukata terdiri dari dua bagian utama, yakni, onset (pembuka) dan rima (rhyme). Rima terdiri dari nukleus dan koda. Secara gramatik struktur sukukata adalah seperti berikut:
            Suku

 Onset                       Rima
                        
                      Nukleus                         Kodau
Suatu suku dapat memiliki ketiga-tiganya: onset,  nukleus, dan koda. Akan tetapi, hal ini tidak harus. Nukleus selalu berupa vokal. Konsonan atau konsonan-konsonan yang berada di muka nukleus dalam satu suku yang sama adalah onset dan yang di belakang nukleus adalah koda.
3.1.5  Fitur Distingtif
Sejak tahun 1940-an, linguis mulai melihat ihwal bunyi dari segi oposisi yang sifatnya biner, yakni, sesuatu itu ya atau tidak, yang biasanya ditandai dengan simbol + dan -.
Berikut adalah fitur-fitur distingtif yang ada  pada konsonan:
a)      Vokalik dan konsonantal: semua konsonan adalah [+konsonantal] dan [-vokalik] sedangkan semua vokal adalah [+vokalik] dan [-konsonantal].
b)      Anterior: bunyi yang dibuat di bagian depan mulut adalah  [+anterior]. Jadi, bunyi /p/ adalah [+anterior] sedangkan /k/ adalah[-anterior].
c)      Koronal: bunyi yang dibuat di bagian tengah atas mulut adalah [+koronal]. Jadi, bunyi seperti /p/ adalah [-koronal] tetapi /s/ adalah [+koronal].
d)     Kontinuan: bunyi yang dibuat dengan aliran udaranya biasa terus berlanjut.
e)      Straident: bunyi yang dibuat dengan iringan desahan suara.
f)       Nasal: bunyi yang dibuat dengan udara keluar melalui hidung.
g)      Vois: bunyi yang disertai  getaran pada pita suara.
3.1.6  Voice Onset Time
Voice Onset Time, yang sering disingkat sebagai VOT adalah waktu antara (a) lepasnya  udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan (b) getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya.
Dari eksperimen yang dilakukan orang didapati bahwa untuk bahasa inggris suatu bunyi yang VOTnya antara 0-20 milisekon akan terdengar sebagai bunyi [+vois] sedangkan yang 40-60 milisekon adalah [-vois]. Di antara kedua angka itu, yakni, 30 milisekon, bunyi itu kadang-kadang terdengar sebagai vois kadang-kadang sebagai tak-vois (Clark & Clark 1977:201).
Penutur asli suatu bahasa akan dengan tepat mengucapkan bunyi-bunyi dalam bbahsa mereka karena VOT mereka adalah akurat. Sebaliknya, seseorang yang berbahasa asing pada umumnya tidak dapat setepat seperti penutur asli sehingga dia tetap kedengaran seperti orang asing, meskipun dia sangat fasih dalam bahasa asing itu.
3.2         Signifikansinya bagi Psikolinguistik
Bunyi dan kata suatu bahasa ditentukan oleh bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat, fitur-fitur mana yang terlibat, dan bagaimana bunyi-bunyi itu digabungkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa persepsi kita terhadap bunyi dan gabungan bunyi yang kita dengar ditentukan oleh tilas (trace) neurofisiologis yang telah tertanam pada otak kita. Karena dalam neorofisiologi kita terdapat tilas yang menunjukkan bahwa bunyi /n/ dapat dipakai di depan suku, maka pada saat kita mendengar suatu rentetan bunyi di mana ada terdapat bunyi ini kita bisa menerka bahwa bunyi ini mungkin mengawali suatu suku kata.
3.3         Transmisi Bunyi
Bunyi yang dikeluarkan oleh manusia ditransmisikan ke telinga pendengar melalui gelombang udara. Pada saat suatu bunyi dikeluarkan, udara tergetar olehnya dan membentuk semacam gelombang. Gelombang yang membawa bunyi ini bergerak dari depan mulut pembicara ke arah telinga pendengar. Dengan mekanisme yang ada pada telinga, manusia menerima bunyi ini dan dengan melalui syaraf-syaraf sensori bunyi ini kemudian “dikirimkan” ke otak kita untuk diproses dan kemudian ditangkapnya.
Pemrosesan  di otak dibimbing oleh pengetahuan kita tentang bahasa tersebut, termasuk pengetahuan kita tentang bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat  dan fitur apa saja yang terlibat.

4.             PERSEPSI TERHADAP UJARAN
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran berikut : (a) Bukan angka, (b) Buka nangka, (c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu berada. Bunyi (b) pada kata buru, misalnya tidak persis sama dengan bunyi (b) pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark & Clark, 1977).
1.        Tahap auditori : Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran ini kita simpan dalam memori auditori kita
2.        Tahap fenotik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita, kita lihat, misalnya, apakah bunyi tersebut [+consonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pila lingkungan bunyi itu: apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa-vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah bukan nangka, maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-hal serpeti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtifnya. Kemudian VOT –nya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi.
Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita disimpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik arkulasi, cara arkulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini sedkit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip-rounding). Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/
Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa.
3.        Tahap Fonologis : Pada tahap ini kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa inggris, bunyi /n/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu. Penutur inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi itu dengan bunyi dimukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, / /, /n/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis
Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak an mbok meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa jawa. Sebaliknya, penutur inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.
Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktuŋgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuŋgal/.

5.             MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI
Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah diajukan orang.
5.1         Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini. Yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Motor Theory of Speech Perseption, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain disekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua kata alofon dari satu fonem yang sama, yakni fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang sama.
Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si pendengar yang seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang mengujarkannya.
5.2         Model Analisis dengan Sintesis
Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujar (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka seduah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analiysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, Stevens dan Halle 1967, dalam Gleanson dan Retner 1998). Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ mala mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang difitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesislah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola, /bola/ ... sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni /pola/. Baru pada saat itulah deretan dipersepsi dengan benar.
5.3         Fuzzy Logical Model
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses: evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lau diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(raŋ)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap sama dengan prototipe kita.
5.4         Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro 1994) terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang dimulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort. Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata memiliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi jida tersingkirkan karena pada kata targetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada kata priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada sati kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar, yakni kata prihatin.
Secara diagramatik model untuk mempersepsi kata prihatin adalah sebagai berikut:

Pahala




Pujaan




Piranti



Prihatin
Priyayi
Priyayi
Priyayi


Prakata
Prakata



Prihatin
Prihatin
Prihatin
Prihatin

Dst




5.5         Model TRACE
Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan McClelland 1984; 1986). Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pan tataran di bawahnya.
Proses ini terdiri dari tiga tahap: tahap fitu, tahap fonem, dan tahap kata. Pada masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan kata. Masing-masing node mempunyai tingkat yang dinamakan resting, thershold, dan activition. Bila kita mendengar suatu bunyi, maka bunyi ini akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif tertentu dan “mengistirahatkan” fitur-fitur distingtif lain yang tidak relevan. Jadi seandainya kita mendengar bunyi /ba/, maka bunyi /b. Akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif [+konsonantal], [+anterior], [+vois] dan beberapa fitur yang lain, tetapi fitur-fitur seperti [+vokalik], [+nasal], dan [+koronal] akan “diistirahatkan”. Dengan kata lain, fitur-fitur yang relevan itu tadi muncul pada tingkat thershold.
Node-node ini saling berkaitan sehingga munculnya fitur-fitur tertentu pada tingkat thershold bisa pula memunculkan node-node yang lain. Karena perbedaan antara /b/ dan /p/ hanyalah pada soal vois maka waktu /b/ mucul, /p/ bisa pula ikut muncul untuk dikontraskan – meskipun kemudian disingkirkan. Begitu pula ada jaringan interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain. Munculnya /k/ dan /o/ untuk kata Inggris coat bisa memunculkan code, boat, dan road pada tataran kata.
Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap akhirnya ditemukan kata yang memang kita dengar.

6.             PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS
Bunyi tidak dapat diujarkan secara terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti pada kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ (seperti pada pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan. Bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir dibundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda, sedangkan secara fonemik sama. Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat dimana bunyi itu terdapat. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progresif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini memberikan makna yang layak.






























BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah yang telah kami uraikan adalah sebagai berikut:
3.1.1        Dalam penelitian mengenai persepsi ujaran itu dapat dikatakan masih baru. Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi, terutama dengan terciptanya alat telepon.
3.1.2        Mengenai masalah dalam mempersepsi ujaran telah didapati tiap kali kita berbicara, satu menit kita telah akan mengeluarkan antara 1500-1800 bunyi.
3.1.3        Dalam mekanisme ujaran terdapat bagian-bagian yang mendukung: bibir, gigi, alveolar, palatal karas (hard palate), palatal lunak (soft palate), uluva, lidah, pita suara, faring, rongga hidung, rongga mulut.
3.1.4        Dalam persepsi terhadap ujaran dilakukan melalui tahap-tahap tertentu, diantaranya: tahap auditori, tahap fonetik, tahap fonologis.
3.1.5        Dalam rangka memahami ujaran terdapat beberapa model persepsi ujaran, antara lain: model teori motor untuk persepsi ujaran, analisis dengan sintesis, fuzzy logical model, model cohort, model trace.
3.1.6        Dalam persepsi dalam konteks, bunyi di ujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi.



3.2         Saran
Penulis menyarankan agar makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam proses pembelajaran psikolonguistik yang  membahas tentang persepsi manusia terhadap bunyi bahasa, pertama, tentang penelitian mengenai persepsi ujaran. Kedua, masalah dalam mempersepsi ujaran. Ketiga, mekanisme ujaran. Keempat, persepsi terhadap ujaran. Kelima, model-model untuk persepsi. Dan yang terakhir persepsi ujaran dalam konteks.




1 komentar: