MAKALAH
ANALISIS
CIRI-CIRI ANGKATAN PUJANGGA BARU (1933-1942) DALAM NOVEL/ROMAN “BELENGGU” KARYA
ARMIJN PANE
Oleh:
Kelompok III (Tiga)
DISKA CINTIA
JUSMIDAR
MAY SISKA DEBORA
MERI HARTINI
OKTAFIA DEFI
ANGGRAINI
RIAN HIDAYAT
SELLY
OKTA PINI
Kelas
II/A
Dosen
Pembimbing:
DR. SUDIRMAN
SHOMARY, M.A
Program Studi Bahasa
dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan
Seni
Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Riau
Pekanbaru
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ciri-ciri Angkatan
Pujangga Baru dalam Novel “Belanggu” karya Armijn Pane”.
Makalah ini disusun untuk
memenuhi instruksi dari Dosen Pembimbing DR. Sudirman Shomary, M.A dan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Sejarah
Satra dengan maksud
agar mampu memahami ciri-ciri angkatan pujangga baru dalam
novel “Belanggu” karya Armijn Pane .
Bahan-bahan pembahasan dalam
makalah ini diperoleh dari beberapa sumber buku dan internet.
Makalah ini tidak dapat
terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penyusun menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu, penyusun
sangat mengharapkan kritik atau saran yang konstruktif untuk perbaikan pada
masa yang akan datang. Terlepas dari segala kekurangan, penyusun berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat dari pihak-pihak yang memerlukan.
Pekanbaru, April 2012
Penyusun
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.......................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI
......................................................................................
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
................................................................
A. Latar Belakang
.....................................................................
B. Sejarah Pujangga Baru .........................................................
C. Biografi Armijn Pane ...........................................................
|
1
1
1
3
|
BAB II KARYA
YANG DIANALISIS ............................................
Sonopsis
Novel Belenggu ........................................................
|
6
6
|
BAB III PEMBAHASAN
................................................................
Ciri-ciri
Angkatan Pujangga Baru dalam Novel “Belenggu” karya Armijn Pane
....................................................................
|
10
10
|
BAB IV PENUTUP ..........................................................................
Kesimpulan
...............................................................................
|
|
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pujangga baru adalah majalah
kesusastraan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 di Jakarta (waktu
itu Batavia). Para pendirinya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan
Armijn Pane. Penerbitan majalah ini berhenti pada saat invasi Jepang ke Hindia
Belanda pada tahun 1942.
Angkatan Pujangga Baru muncul
sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap
karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut
rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern
Indonesia.
Pada mulanya, Pujangga baru adalah
nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan
adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di
Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein
Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane.
Jadi
Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian,
orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah
itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah
kedepan.
B.
Sejarah
Pujangga Baru
Barangkali, hanya untuk memudahkan
ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga
Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat
didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat,
Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian.
Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah
Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena
kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi
(hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan
beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.
Mengingat masa hidup Pujangga Baru (I) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman
Jepang, maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran
tahun 1915-an dan sebelumnya.
Dengan demikian, boleh dikatan
generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan ‘45 yang
kemudian menyusulnya merupakan angkatan baru yang jauh lebih bebas dalam
mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya. Ketika sastra
Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu
Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut kearah kemajuan.
Sebenarnya para Pujangga Baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda
Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloosdan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangi heyang beragama Protestan dan merupakan penyair religious sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan
Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu
Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India
daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus
ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja
Penyair Pujangga Baru adalah Amir
Hamzah. Ia sangat dipengaruhi
agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa
Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane,
yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan
modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya sepert iRustam
Effendi, A.M. Daeng Myala,
Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim.
Mereka dating dari segala penjuru tanah air
dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
C.
Biografi Armijn Pane
Armijn Pane, lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908–meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun, adalah seorang Sastrawan Indonesia. Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan
majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung
lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk
memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.
Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu (1940).
Setelah
lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya di STOVIA,
Jakarta (1923) dan NIAS,
Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah dokter), kemudian pindah ke
AMS-A di Solo (lulus pada 1931). Di AMS A-1 (Algemene Middelbare School), ia
belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.
Sebagai
pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia Muda,
namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat
itu ia memulai karirnya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi
nasionalis, dan dua tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalahPujangga Baru.
Armijn
Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya
(1932), mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer
(1953), dan menjadi wartawan
lepas. Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa
di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang kedatangan tentara Jepang,
ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka.
Pada zaman Jepang, Armijn bersama kakaknya Sanusi Pane,
bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjadi kepala
bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah kemerdekaan, ia aktif dalam
bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan
pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN)
(1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Tahun
1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan
jasanya dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah
menerima penghargaan tersebut, ia meninggal.
Selain
menulis puisi
dan novel,
Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada
Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat
luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir
Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane,
kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi
suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga
Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.
BAB II
KARYA YANG DIANALISIS
Sinopsis
Novel Belenggu
Dokter
Sukartono dengan seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah.
Perempuan itu bernama Sumartini atau panggilannya Tini. Sebenarnya Dokter
Sukartono atau Tono tidak mencintai Sumartini. Demikian pula sebaliknya, Tini
juga tidak mencintai Dokter Sukartono.
Mereka
berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini
karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter
adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak
melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar
kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya
tidak saling mencintai.
Karena
keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling
berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah
dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing
memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak
hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan
keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai dan
bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja tanpa kenal waktu.
Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan sigap berusaha
membantunya. Akibatnya, dia melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri. Dai
sering meninggalkannya istrinya sendirian dirumah. Ida betul-betul tidak
mempunyai waktu lagi bagi istrinya, Tini.
Dokter
Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka menolong kapan
pun pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga ridak meminta bayaran
kepada pasien yang tak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal sebagi dokter yang
sangat dermawan.
Kesibukan
Dokter Sukartono yang tak kenal waktu tersebut semakin memicu percekcokan dalam
rumah tangga. Menurut Suamrtini, Dokter Sukartono sangat egois. Sumartini
merasa telah disepelekan dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan suaminya
yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan
dan merasa bahwa derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak
sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang
istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak tersebut, maka Sumartini sering
bertengkar. Hampir setiap hari mereka bertengkar. Masing-masing tidak mau
mengalah dan merasa paling benar.
Suatu
hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang mengaku
dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang ke hotel
tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya
di hotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah Yah atau
Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih bersekolah di
Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada
saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan
hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dia
terjun kedunia nista dan menjadi wanita panggilan. Yah sebenarnya secara
diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayalkan Dokter
Suartono sebagai suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter
Sukartono. Setelah menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan
berpura-pura sakit.
Karena
sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah menggodanya. Dia
sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang
dilakukannya selama di Jakarta. Pada awalanya Dokter Sukartono tidak tergoda
akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama
kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering
meminta dia untuk mengobatinya, lama-kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda.
Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter
Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya.
Karena
Dokter Sukartono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu bertengkar
dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan hotel tempat
Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua. Lama-kelamaan hubungan Yah dengan
Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya ketika mengethui hubungan
gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut.
Secara diam-diam Sumartini pergi ke hotel tempat Yah menginap. Dia berniat
hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu suaminya. Akan
tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi luluh.
Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap
sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut dan ramah.
Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah pada
suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh
suaminya.
Sepulang
dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap dirinya. Dia
merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah
memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya. Selama ini dia selalu kasar pada
suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri. Akhirnya, dia mutuskan untuk
berpisah dengan Suaminya.
Permintaan
tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia
tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada
istrinya dan berjanji untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah
bulat. Dokter Sukartono tak mampu menahannya. Akhirnya mereka bercerai.
Betapa
sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih
saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika
dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya
dan pergi ke Calidonia.
Dokter
Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya.
Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu, sedangkan Yah pergi ke
negeri Calidonia.
BAB III
PEMBAHASAN
Ciri-Ciri
Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
1.
Menggunakan
Bahasa Melayu kuat
a.
Ketika mobil
berhenti disisi tangga, seorang yang berpakaian uniform berdiri disisi mobil,
sambil mengangguk.
Ini nomor
45?”tanya Abdul, lalu keluar.
“benar,
nyonya Eni sudah menunggu”. (halaman 20)
a.
Waktu masih
menuntut pelajaran di sekolah Geneeskundige Hooge School di Betawi,tiada
sedikit kawan-kawan dokter Sukartono yang memastikan, dia tiada akan sampai ke
ujian penghabisan. Dia tidak cakap jadi dokter, terlalu suka akan lagu, akan
seni: pikirannya terlalau banyak terlalai, (halaman 24)
b.
Nyonya Eni
berhenti di hadapan kamarnya, sambil hendak masuk dia menoleh katanya:
“alangkah sedapnya Turen ke Periok?”
c.
“Ya, benar,”
pikir Sukartono, teringat akan waktu dahulu ketika dia masih sudent. (halaman 30)
d.
“janganlah
merengut. Janganlah susahkan pikiranmu: kalau datang kesini tanggalkanlah
pikiranmu. Di luar masih banyak yang mesti engkau pikirkan.”
“benar Yah,
kalau akau di sini, di rumahmu ini....”
“bukan,
rumah kita......”
“.....ya
rumah kita ini, aku tenang, hilang pikiranku, tapi entah timbul juga pikiranku
yang satu itu juga. Dimanakah engkau ku lihat dahulu?” dipegangnya muka Yah
dengan kedua belah tangannya. (halaman 37)
e.
“air mata
yang membendung hatiku telah mengalir...... tidakkah engkau ingat Rohayah?”
Kartono
bangun berdiri karena herannya: “Rohayah, Rohayah!” katanya berulang-ulang
seolah-olah menghapalkan nama negeri, hendak mengingatkan barang apa yang sudah
dipelajarinya tentang negeri itu.
“engkau
Rohayah? Rohayah kawanku dahulu?” (halaman 51)
f.
Puteri
Aminah berolok-olok:”Ah, rajin benar,” lalu Nyonya Rusdio dan Tini diberinya
salam, katanya tersenyum: “jangan terlalu rajin, Tini, nanti kartono marah.” (halaman 55)
g.
Kata orang
dahulu mereka sepasang, sejodoh benar-benar, serasa. Kata, kata orang! Kata
orang juga tiada benar, asal berkata saja, melihat diluarnya saja. (halaman 71)
h.
Kepala Tono
tunduk, terkulai, badannya tiada bergaya, sebagai anak tunduk di hadapan
bapaknya, yang lagi marah. Lengan kemejanya tergulung, tangannya seolah-olah
patah disisi badannya. Matanya memandang-mandang, mulanya ke lantai.... asal
saja jangan melihat badan kecil yang tiada lagi berjiwa di atas tempat tidur
anak-anak, pikirannuya serasa-rasa hendak menutup telinganya jangan mendengar
tangis ibu yang masih muda, menelungkup di atas tubuh yang telentang itu. (halaman 76)
i.
Kemudian dia
senang dapat kesempatan pergi. Dia ditelefon diminta datang, ada orang sakit.
Sehabis menerima telefon itu dia menghampiri nyonya Sumarjo, hendak minta diri.
“memang menjadi dokter tidak enak,” katanya menyindir, seolah-olah menyambung
percakapan tadinya, “lagi enak-enak dengar mainan istri sendiri terpaksa
pergi.” (halaman 93)
j.
Karena itu
dengan girang disambutnya tawaran Mardani, untuk memberi Hartono menumpang dulu
dirumahnya. (halaman 103)
k.
Tini masuk......
sudah ditengah-tengah ruang tengah, diapun terkejut terpandang kepada orang
yang duduk mengerjakapkan mata itu. Dada Tini turun naik dengan keras, badannya
seolah-olah hendak jatuh, dipegangnya sandaran kerosi meja makan dengan dua belah
tangannya, kemudian ditekannya, sebagai hendak mencari sandaran pada hatinya
dia tunduk, mengamat-amati orang yang duduk itu, sebagai..... angan-angan,
bayang-bayang orang dalam angan-angan. Sekejap kemudian, dia memalingkan mata,
lalau dipupusnya keningnya sebagai hendak menghapuskan pikiran yang mengganggu,
dipandangnya lagi, masih ada juga. Dihampirinya beberapa langkah. (halaman 117-118)
2.
Unsur
Intrinsik Novel “Belenggu”
a.
Tema
Tema dalam
novel Belenggu ini adalah kritik
sosial dan politik tentang problematika cinta segita.
b.
Amanat
• Dalam sebuah hubungan percintaan kita dituntut untuk saling
menghormati dalam perselisihan dan perang kata, kita harus bisa lebih menahan
diri dari pasangan kita.
• Bagi Isteri hormati dan layanilah Suami dengan tulus dan
ikhlas jangan terpaksa dan lebih mengedepankan ego.
• Tidak pantaslah jika seorang isteri pergi sesuka hati tanpa
izin dan sepengetahuan suami.
• Tolong-menolong dan saling berbagi dengan sesama harus
dikedepankan untuk kerukunan bersama.
• Sikap saling percaya, sabar, dan saling menghargai bisa
menjadi pencegah perselingkuhan.
• Seorang isteri tidak boleh melupakan tugas utamanya dalam
keluarga dan selalu sibuk dengan pekerjaan luarnya, begitu juga seorang suami
harus selalu mengedepankan kepentingan keluarga di banding kepentingan pekerjaan
atau kepentingan lainnya.
• Seorang perempuan harus bisa menjaga diri dan tidak terbawa
arus globalisasi yang semakin pesat.
• Sebaiknya jangan suka menggunjing apalagi masalah rumah
tangga orang lain.
• Seharusnya dalam kehidupan berumah tangga harus didasari
rasa cinta antar pasangan
c.
Alur
Alur pada novel ini menggunakan
alur maju.
·
Tahap Perkenalan
Tahap
perkenalan dimulai dengan pengenalan tokoh-tokohnya. Dokter Sukartono, seorang
dokter yang sangat mencintai pekerjaannya sebagai dokter yang professional
karena giat dalam bekerja dan ramah kepada pasien-pasiennya. Dia menikah dengan
seorang gadis cantik bernama (Sumartini).Tetapi rumah tangganya tidak harmonis
karena sering beradu mulut.Dokter Sukartono sibuk dengan pekerjaannya,
sementara Sumartini hanya menjaga telpon dan menulis blocnote jika ada pasien
yang meminta pertolongan suaminya.Diperkenalkan pula Rohayah seorang wanita
korban kawin paksa dan dia menjadi wanita panggilan. (Belenggu, 2006:17-18)
·
Tahap Perumitan/Awal
Masalah
Dimulai saat
Rohayah berpura-pura sakit. Pada awalnya Rohayah terkenal dengan sebutan Ny.
Eni, karena ingin bertemu dengan Tono, dia berpura-pura sakit dan meminta Dr.
Sukartono untuk memeriksanya. Saat itu dia tinggal disebuah hotel.
Rohayah dan Sukartono semakin akrab, sehingga timbuhlah perasaan cinta pada diri Sukartono. Rohayah sebenarnya sudah lama mengenal Sukartono, karena Sukartono adalah tetangganya waktu masih tinggal di Bandung dulu.Akhirnya, Yah memberitahukan hal itu.Hubungan mereka semakin dekat, Tono sering mengajak Rohayah jalan-jalan.Pada waktu itu pula hubungan Tono dan Tini mulai renggang. Tono jarang dirumah, Tini tak mengerti mengapa suaminya berubah secepat itu. (Belenggu, 2006:18-78)
Rohayah dan Sukartono semakin akrab, sehingga timbuhlah perasaan cinta pada diri Sukartono. Rohayah sebenarnya sudah lama mengenal Sukartono, karena Sukartono adalah tetangganya waktu masih tinggal di Bandung dulu.Akhirnya, Yah memberitahukan hal itu.Hubungan mereka semakin dekat, Tono sering mengajak Rohayah jalan-jalan.Pada waktu itu pula hubungan Tono dan Tini mulai renggang. Tono jarang dirumah, Tini tak mengerti mengapa suaminya berubah secepat itu. (Belenggu, 2006:18-78)
·
Tahap Klimaks
Tahap
ini dimulai ketika Tono semakin yakin Rohayah bisa memberikan kasih sayang yang
sesungguhnya dan selama ini belum didapatkannya dari isterinya. Tono merasa
tidak tentram berada dirumahnya, dia lebih merasa nyaman dirumah Yah dan dia
menganggap Rumah Yah sebagai rumah keduanya. Hubungan gelap ini diketahui Tini.
Sumartini merasa sangat marah mengetahui hubungan mereka. Sumartini pun
berangkat mencari kediaman Rohayah bermaksud memaki Rohayah dan meluapkan semua
kekesalannya. (Belenggu, 2006:130)
·
Tahap Peleraian
Peleraian
dimulai ketika Tini sudah bertatap muka langsung dengan Rohayah. Dia merasa
sudah gagal menjadi seorang isteri. (Belenggu, 2006:133-136)
·
Tahap Penyelesaian
Tahap
akhirnya ketika Sumartini merasa mantap untuk berpisah dengan Sukartono. Pada
awalnya Sukartono tidak mau mengabulkannya, karena apapun yang terjadi Tono
tidak mau ada perceraian dalam rumah tangganya.Namun Tini tetap bersikeras. Akhirnya
nereka sepakat untuk bercerai. Hati Sumartono sangat sakit karena perceraian
tersebut. Hatinya semakin sakit setelah mengetahu Rohayah juga meninggalkannya.
Tono dan Tini berpisah, mereka tidak dapat mempertahankan kehidupan rumah
tangga mereka, dan Yah pun pergi ke Kaledonia Baru meninggalkan Tono, orang
yang dicintainya itu. (Belenggu, 2006:136-150)
d.
Sudut pandang
Sudut pandang
pada novel Belenggu, si penulis yaitu Armijn Pane tidak menceritakan tentang
dirinya, melainkan dia menceritakan orang lain. Bisa kita katakan, penulis
berperan sebagai orang ketiga. Pengarang tidak terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung di dalam cerita itu.
e.
Tokoh dan Karakter
a. Tokoh utama
:
·
Sukartono: baik, sangat mencintai pekerjaannya, penyayang, sabar,
dan penyuka lagu keroncong terutama lagu yang dinyanyikan Siti Hayati.
·
Sumartini: wanita modern, mandiri, memiliki ego yang tinggi, dan
cepat gusar.
·
Rohayah: wanita yang lemah lembut, cerminan isteri idaman
Sukartono, dan penuh perhatian.
b. Tokoh
pendukung :
Karno, Aminah,
Nyonya Rusdio, Nyonya Sumarjo, Husin, Nyonya Padma, Mardani, Marlinah, Tuan
Sumardi, Kartini, Darusman, Tuan Abdul Kahar, Hartono, Abdul, Mangunsucipto
f.
Latar
Dalam roman
Belenggu yang telah penulis analisis, terdapat 3 latar yaitu:
a. Latar alam, peristiwa tempat
kejadiannya berada di Kota Jakarta.
b. Latar waktu,
peristiwa klimaksnya terjadi pada malam hari.
c. Latar sosial, tempat peristiwa
terjadinya berada di lingkungan kaum cendikiawan yakni seorang dokter.
d. Latar ruang, tempat peristiwa
terjadinya berada di ruang tengah rumah Tono dan Tini.
3.
Unsur
Ekstrinsik Novel “Belenggu”
a.
Moral
Terdapat
pesan moral yaitu dalam hubungan suami istri harus Saling merhormati dan
menghargai pasangan masing-masing, jangan pernah berkhianat terhadap orang yang
telah memberikan kasih sayang yang tulus apalagi sudah diikat dengan sebuah pernikahan,
karena dapat mengakibakan perselisihan, perselingkuhan, kehancuran dalam rumah
tangga tersebut.
b.
Agama
Seorang
perempuan yang telah menikah, itu harus bisa menjadikan suaminya sebagai pemimpin
dan imam dalam rumah tangga dan istri diharuskan menjalankan kodratnya sebagai
ibu rumah tangga meskipun dia juga bekerja, suami pun harus bisa membawa
istrinya kejalan yang benar, tidak harus bekerja terus menerus, dan menegur
istri dikala dia berbuat salah, jangan dibiarkan karena itu pun bisa
menyebabkan kehancuran, karena di dalam islam Allah tidak suka dengan
perceraian.
c.
Sosial
Pembelajaran
tentang kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga. Karena seseorang hanya
menilai dari kecantikan tidak melihat tingkah lakunya itu, karena itu asal mula
tidak ada rasa kasih sayang yang seberanya, sehingga akan memicu ketidak
harmonisan di dalam rumah tangga tersebut, adanya rasa percaya satu sama lain
sehingga tidak ada hal yang di tutupi antara satu sama lain, karena akan
membuat masalah besar. karena itu rasa memiliki dan perilaku sosial dengan
orang lain itu akan membuat komuniksai antara suami istiri bisa selalu baik dan
tak akan ada membuat rumah tangga tersebut hancur.
d. Adat
Jika suami
pulang kerja, hendaknya istri menyambutnya, mempersilakan duduk, menganggalkan
sepatunya.
e. Etika
Kartono,
seorang dokter yang selalu ramah kepada setiap pasiennya.
4.
Tema/Topik
·
Nasionalisme:
Sukartono
sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya sebagai
seorang dokter.
Sumartini
telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu
5.
Pengaruh Pengarang Dunia
Menurut Bakri Siregar,
seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud
akan psikoanalisis;
dia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini. Dua karya
Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan
"Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Satu hal
pengaruh dari membaca Roman Belenggu ini akan melahirkan sebuah opini di
masyarakat, bahwa apabila sebuah kehidupan rumah tangga yang lahir dibangun
dari tiadanya rasa saling cinta antara suami-istri, maka keluarga tersebut
tidak harmonis dan bahkan bisa terjadi perceraian.
Peristiwa
bersejarah yang melatarbelakangi karya-karya sastra Angkatan Pujangga Baru
adalah Sumpah Pemuda. Peristiwa ini merupakan hasil Kongres Pemuda II yang
dilaksanakan di Jakarta, tanggal 26-28 Okteber 1928. Sumpah pemuda yang
menyatakan tekan kesatuan tanah air dan bangsa yaitu Indonesia, serta
menjungjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Secara tidak langsung juga
menghendaki kesatuan lain yaitu kesatuan kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai
konsekuensi dari Sumpah Pemuda, sejumlah cendekiawan dan budayawan Indonesia
terlibat dalam suatu polemik mengenai bagaimana bentuk masyarakat Indonesia
yang merdeka, kebudayaannya dan cara menumbuhkannya.
Pada masa
kolonial Belanda, Balai Pustaka banyak melakukan sensor yang keras terhadap
karya-karya intelektual-sastrawan kita. Banyak tulisan dan karya yang ditolak
oleh redaksi Balai Pustaka dan tidak boleh diterbitkan. Salah satu korbanya
adalah novel Belenggu karya Armijn Pane. Novel tersebut baru diterbitkan
setelah munculnya majalah Pujangga Baru (1933).
Setelah kita
membaca Roman Belenggu, karangan Armijn Pane ini, akan diperoleh pengalaman-pengalaman
yang akan berdampak bagi kejiwaan seseorang dan dapat sebagai bahan
pembelajaran bagi Pembaca Karya Sastra ini.
Hal inilah
yang ditakutkan dalam kehidupan sesorang, manakala membangun rumah tangga tanpa
didasari cinta antara suami isteri.
Karena tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur, tidak saling berbicara dan bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama – sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing–masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri, sering salah paham dan sukar bertengkar.
Karena tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur, tidak saling berbicara dan bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama – sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing–masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri, sering salah paham dan sukar bertengkar.
Itulah
sebabnya, banyak dimasyarakat untuk menghidari kawin paksa, kawin karena
dijodohkan dan kawin tanpa dasar cinta. Karena kalau perkawinan tanpa dasar
cinta akan membentuk keluarga yang tidak harmonis dan tidak bahagia. Dan orang
akan menghindari hal ini sejauh-jauhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shomary, Sudirman. 2012, Sejarah Sastra Indonesia, Ilmu Sastra dan
Periodesasi Sastra. Pekanbaru: Universitas Islam Riau Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar