Laman

Kamis, 27 Februari 2014

Retorika



PIRNSIP DASAR RETORIKA
Oleh: MERI HARTINI (126211472)

Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Beretorika juga harus dapat dipertanggungjawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, fikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata–kata yang tepat, benar dan mengesankan, ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif, jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek? dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan, ”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum–hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. dalam seni berbicara dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.
Retorika atau ilmu komunikasi adalah cara pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan atau metode yang teratur atau baik. Berpidato, ceramah, khutbah juga termasuk kajian retorika. Cara-cara mempergunakan bahasa dalam bentuk retorika seperti pidato tidak hanya mencakup aspek-aspek kebahasaan saja tetapi juga mencakup aspek-aspek lain yang berupa penyusunan masalah yang digarap dalam suatu susunan yang teratur dan logis adanya fakta-fakta yang meyakinkan mengenai kebenaran masalah itu untuk menunjang pendirian pembicara.
Oleh karena itu suatu bentuk komunikasi yang ingin disampaikan secara efektif dan efisien akan lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa secara lisan. Suatu komunikasi akan tetap bertitik tolak dari beberapa macam prinsip.
Prinsip-prinsip dasar itu adalah sebagai berikut:
1.    Penguasaan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa yang dikuasainya. Semakin besar jumlah kosa kata yang dikuasai secara aktif semakin besar kemampuan memilih kata-kata yang tepat dan sesuai untuk menyampaikan pikiran.
2.    Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan yang memungkinkan pembicara menggunakan bermacam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda.
3.    Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa dan mampu menciptakan gaya yang hidup dan baru untuk lebih menarik perhtian pendengar dan lebih memudahkan penyampaian pikiran pembicara.
4.    Memiliki kemampuan penalaran yang baik sehingga pikiran pembicara dapat disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan logis.
5.    Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan komposisi tertulis, sehingga mudah dibaca dan dipahami, disamping bentuknya dapat menarik pembaca.
Dalam retorika modern masih diperlukan pengetahuan lanjutan bagi sebuah komposisi ilmiah. dengan demikian, pencorakan komposisi dalam retorika modern meliputi bentuk karangan yang disebut: eksposisi, argumentasi, deskripsi, dan narasi



























DAFTAR PUSTAKA

http://nesaci.com/pengertian-dan-prinsip-dasar-retorika/ diakses: 26 Februari 2014. Pukul: 14:52.
http://puterishop.wordpress.com/bagi-para-pena/retorika/ diakses: 26 Februari 2014. Pukul: 14:55

Selasa, 25 Februari 2014

Makalah Drama




MAKALAH
DRAMA
Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kermerdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama”

Oleh:
Kelompok 5 (Lima)
Hariyanti
May Siska Debora
Meri Hartini
Pitri Desmita
Puji Astuti
Supi

Kelas 4/A

Dosen Pembimbing:
SRI RAHAYU, M.Pd

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2013-2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama”. Makalah ini disusun untuk memenuhi instruksi dari Dosen Pembimbing Sri Rahayu, M.Pd. dan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Prosa Fiksi dan Drama dengan maksud agar mampu memahami Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama. Makalah ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik atau saran yang konstruktif untuk perbaikan pada masa yang akan datang. Terlepas dari segala kekurangan, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dari pihak-pihak yang memerlukan.

Pekanbaru,      Februari 2013

Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ii
BAB I   PENDAHULUAN ............................................................................
A.  Latar Belakang ......................................................................................
B.  Rumusan Masalah .................................................................................
C.  Tujuan ...................................................................................................
1
1
1
1
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................
A.  Drama Indonesia Sebelum Kemerdekaan .............................................
B.  Drama Indonesia Sesudah Kemerdekaan ..............................................
C.  Unsur Intrinsik Drama ..........................................................................
D.  Unsur Ekstrinsik Drama ........................................................................
2
2
6
11
13
BAB III  PENUTUP .......................................................................................
A. Keimpulan .............................................................................................
B. Saran ......................................................................................................
15
15
15
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
16






BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Unsur suatu genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding genre puisi ataupun genra fiksi. Kesan dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi langsung secara konkret. Kekhususan drama disebabkan oleh tujuan drama pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan kekhususannya inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang berorientasi kepada seni pertunjukan.

B.          Rumusan Masalah
1.             Bagaimana perkembangan drama Indonesia sebelum kemerdekaan?
2.             Bagaimana perkembangan drama Indonesia sesudah kemerdekaan?
3.             Apa saja yang termasuk unsur intrinsik drama?
4.             Apa saja yang termasuk unsur ekstrinsik drama?

C.          Tujuan
1.             Menjelaskan perkembangan drama Indonesia sebelum kemerdekaan.
2.             Menjelaskan perkembangan drama Indonesia sesudah kemerdekaan.
3.             Menjelaskan unsur intrinsik drama.
4.             Menjelaskan unsur ekstrinsik drama.







BAB II
PEMBAHASAN

A.          Drama  Indonesia Sebelum Kemerdekaan
1.             Sastra Drama Melayu Rendah
Sastra drama muncul karena adanya perkumpulan drama modern di Indonesia. Drama modern atau teater Barat muncul di Indonesia sekitar pertengahan abad ke-19 di kalangan masyarakat Belanda dan peranakannya. Segala bentuk kesenian ini berkembang dikalangan masyarakat Tionghoa dan peranakannya. Dan akhirnya drama modern masuk di lingkungan masyarakat kota Indonesia sendiri.
Berbeda dengan drama atau teater tradisional, teater Barat atau drama modern memerlukan naskah tertulis. Itulah sebabnya, perkembangan teater modern mendorong pula perkembangan bentuk sastra drama.
Naskah drama tertua di Indonesia adalah karya F. Wiggers. Lelakon Raden Beij Soerio Retno, yang diterbitkan pada tahun 1901. Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia ialah Komedi Stamboel, muncul pada tahun 1891. Sejak itu hingga tahun 1983 telah muncul dan berkembang lebih dari 30 grup teater modern dan ditulis lebih dari 400 naskah drama di Indonesia.
Rombongan pertama drama modern Indonesia, Komedi Stamboel, dibentuk di Surabaya pada tahun 1891 oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Rombongan ini sampai dengan tahun1901 belum melahirkan naskah tertulis, pementasannya masih bersifat improvisasi, tanpa teks tertulis. Baru pada tahun 1901, pengarang F. Wiggers menulis sastra drama yang pertama, berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno dalam bentuk satu babak.
Sastra drama asli yang benar-benar modern bentuknya adalah karya Kwee Tek Hoay (KTH), berjudul Allah Jang Palsoe, terbit pada tahun 1919, dicetak sebanyak 2000 eksempiar. Teks drama ini ternyata merupakan saduran dari drama karangan E. Phillips Oppeinheim yang berjudul The False Gods. Setelah ini terbit karya sastra Melayu Tionghoa.
Selama sejarahnya, terdapat 27 orang penulis drama Tionghoa. Mereka menghasilkan sekitar 78 karya sastra drama yang banyak dipentaskan oleh organisasi-organisasi Tionghoa dan juga oleh rombongan drama Dardanella. Para penulis drama itu memang bukan aktivis kelompok drama. Kebanyakan mereka dari luar rombongan pementas drama.
Para penulis tersebut mengambil bahan cerita dari kejadian sensasional dilingkungan mereka, baik dalam masyarakat Tionghoa maupun Indonesia. Kematian pada akhir cerita banyak terjadi, yaitu peristiwa bunuh diri. Dengan demikian, jenis tragedi banyak ditulis.
Tema drama Tionghoa dalam bahasa Melayu rendah ini pada umumnya bersifat didaktis. Pertunjukan drama merupakan sarana mendidik masyarakat untuk mengikuti norma-norma susila tertentu. Misalnya dalam drama Lauw Giok Lan, Pendidikan Jang Kliroe, 1932, diajarkan bahwa memanjakan anak itu salah.
Hanya 6 orang dari 27 penulis yang benar-benar berniat menjadi penulis drama. Mereka adalah Ang Jan Goan, Kwee Tek Hoay, Oen Thjing Tiauw, Ong Pik Lok, Pous Kiouw An, dan Tan Boen San.
Meskipun tidak banyak, pada masa ini telah ditulis pula drama terjemahan dari Eropa. Misalnya Romeo dan Juliet karya William Shakespeare diterjemahkan oleh Pouw Kioe An pada tahun 1936. Sedap Malem (karya Alexandre Dumas) dan Cato (karya Joseph Addison) adalah hasil terjemahan Kwee Tak Hoay (1930). The Enemy Of The People karya Henrik Ibsen diterjemahkan menjadi Moesoenja Orang Banjak oleh Ang Jan Goan (1923).
Berdasarkan tahun-tahun penerbitan naskah-naskah tersebut terlihatlah bahwa zaman emas sastra drama Tionghoa dalam bahasa Melayu rendah ini terjadi pada pertengahan tahun 1920-an dan sepanjang dasawarsa 1930-an. Zaman ini merupakan permulaan kemunculan sastra drama Indonesia.
2.             Sastra Drama Poedjangga Baroe
Bebasari, terbit tahun 1926, merupakan karya sastra drama pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia standar oleh orang Indonesia, Roestam Effendi, penyair Poedjangga Baroe. Bila sastra drama orang Tionghoa kebanyakan berdialog dengan bentuk prosa, dialog dalam Bebasari ditulis dalam bentuk sajak.
Seluruh drama ini bersifat simbolik. Bebasari putri yang menjadi tawanan Rawana, melambangkan Indonesia yang berada dalam cengkraman penjajah Belanda. Budjangga, pahlawan pembebas Bebasari, melambangkan pemuda kaum intelektualnya Indonesia. Setelah hilang bimbangnya, Budjangga berhasil melepaskan Bebasari dari cengkraman Rawana.
Cuplikan naskah drama Bebasari karya Rustam Effendi:
Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan
Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan
Dengarlah peluk asmara hamba
Kilatkan jaya kekasih hati
Isi cerita Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri, setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya, Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan, dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi penjajah durjana.
Drama ini agaknya memang dimaksudkan khusus sebagai karya sastra, untuk dibaca (Closet drama), bukan untuk dipentaskan. Bentuk sajak yang dipakainya dalam hal itu dipengaruhi oleh Shakespeare. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Hampir seluruh sastra drama Poedjangga Baroe memiliki ciri-ciri berikut: berbentuk puisi, mementingkan gaya sastra daripada dramatiknya, dan mengambil tema dari sejarah.
Drama-drama ini rupanya ditulis sebagai penyalur rasa tertekan kaum intelektual oleh tindasan penjajah terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930. Karena semangat kebangsaan kaum muda yang sedang tumbuh ini tidak tersalurkan, lahirlah pelarian ke masa silam dan pada idiom lambang-lambang.
Drama Pujangga baru telah menggunakan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Melayu. Ketika itu, publik dengan bahasa tersebut masih terbatas dikalangan intelektual saja. Nilai-nilai di dalamnya juga baru dapat dipahami oleh kaum terpelajar yang berjiwa nasional.
3.             Sastra Drama Zaman Jepang
Kehidupan sandiwara atau teater modern pada zaman jepang (1942-1945) ternyata lebih semarak. Pada masa ini berkembang rombongan sandiwara keliling “Miss Riboet” (Solo). “Miss Tjijih” yang kemudian diganti dengan nama “Tjahaja Asia” dan sebagainya. Rombongan-rombongan ini mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara berbahasa Indonesia memang paling banyak dan mementaskan cerita yang amat populer di kalangan penonton. Hanya saja pertunjukannya masih bersifat improvisasi (tanpa persiapan). Sastra drama mulai dikenal oleh rombongan-rombongan tersebut ketika pemerintah Jepang mendirikan perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (P.O.D) pada tanggal 15 januari 1945, dan mulai menyensor keras setiap pementasan.
Sejak itu, pemerintah Jepang mewajibkan setiap pementasan sandiwara disertai naskah lengkap. Setelah melewati sensor jepang, naskah itu harus dipentaskan dengan tanpa perubahan. Akibatnya, banyakn naskah drama yang bersifat propaganda. Naskah drama yang muncul pada masa ini antara lain sebagai berikut: Amat Heihi, Pecah sebagai Ratna, dan Bende Mataram karya Katot Sukardi; Benteng Ngawi, karya Heinatsu Eitaro alias Dr. Huyung, orang korea; Hantu perempuan karya Armijn Pane; Ibu prajurit karya Natsusaki Tani; serta Bunga Alam karya D. Suradji.
Sebagian karya Armijn Pane bersifat propaganda Jepang, misalnya Kami Perempuan. Karyanya juga berisi konflik kejiwaan yang bersifat romantis, misalnya Antara Bumi Dan Langit serta Jinak-Jinak Merpati.


B.          Drama  Indonesia Sesudah Kemerdekaan
1.             Dasawarsa 1950-an
Masa ini ditandai oleh semakin berkurangnya keberadaan rombongan drama profesional komersial dan makin berkembangnya rombongan drama penggemar amatir. Rombongan drama profesional menekankan segi hiburan, tanpa teks sastra drama, dan pementasannya diselingi nyanyian, tarian, serta kadang-kadang lawakan. Rombongan drama amatir bersandar pada sastra drama. Pementasannya berdasarkan kaidah-kaidah teater modern barat. Banyaknya grup amatir ini merangsang kegiatan penulisan sastra drama. Dasawarsa 1950-an ini ditandai oleh produktivitas sastra Indonesia.
Utuy Tatang Gontaani adalah tokoh yang amat menonjol dalam kualitas dan produktivitas sastra drama. Karya dramanya: Awal dan Mira (1951), Manusia Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Saat yang Genting (1957), Di Muka Kaca (1957), Pengakuan (1957), Sangkuriang (1955),  Si Kabayan (1959), Segumpal Daging Bernyawa (1961), dan Tak Pernah Menjadi Tua (1963).
Kirdjomuljo adalah seorang penulis drama yang produktif, namun sedikt sekali karyanya yang dipublikasikan. Dramanya yang telah dipublikasikan melalui majalah adalah Nona Maryam (1955), Penggali Kapur (1956), dan Penggali Intan (1957).  Sekitar 26 drama sebabaknya belum pernah diterbitkan.
Nasjah Djamin mempublikasikan drama-drama berikut: Titik-titik Hitam (1956), Sekelumat Nyanyian Sunda (1959), Jembatan Gondolayu (1959), Misbach Jusa Biran menulis Bung Besar (1959) dan Anakku Sayang. Mutinggo Busje menerbitkan  Badai Sampai Sore (1958) dan Malam Jahannam (1959). Banyak sastra drama yang ditulis oleh grup-grup drama untuk keperluan pementasannya dan belum dipublikasikan. Endang Achmadi (Teater Bogor) menulis Pahlawan Kelana (1952), Wanita (1954), Sebuah Dunia (1957), Dua Dunia (1958), Terkepung (1958).
Pada akhir tahun 1950-an, Rendra telah menulis dan mementaskan karya-karya berikut: Orang-orang di Tikungan Jalan, Bunga Semerah Daranh, Lelaki-lelaki Tanah Kapur, dan Dataran Lembah Duka. Kadarusman Achil menulis drama-drama pendek: Lebih Primitif Orang Utan, Losmen ini Akan Dijual, Hadiah dari Tetangga, Kutub-kutub, Jeritan Raksasa, Jambangan Bunga, Bejana, dan Suri Suryati. Para sastrawan yang mapan ikut pula mendukung produktivitas drama yang luar biasa dalam tahun 1950-an ini. Rijono Pratikto menulis Yang Pulang. Trisnoyuwono menulis Kemunangan. Bachtian Siagian menulis Batu Merak, Lembah Merapi, Lorong Belakang, dan sebagainya. Agam Wispi menulis Gerbong. Bakri Siregar menulis Gadis Berambut Putih. A. Bastari Asnin menulis Komidi di Alam Baka.
Sastra drama tahun 1950-an kebanyakan berupa drama sebabak. Kemungkinan penyebabnya antara lain:
a.    Banyak penulis drama yang baru mulai belajar menulis.
b.    Seperti pada umumnya dasawarsa itu, yang hanya menghasilkan puisi dan cerita pendek di majalah-majalah.
c.    Sifat amatirisme grup-grup drama yang baru maupun mementaskan drama pendek dengan biaya kecil.
d.   Grup-grup drama baru dalam taraf belajar.
2.             Dasawarsa 1960-an
Penulis-penulis yang muncul dalam dasawarsa ini ialah Bambang S. (Domba-domba Revolusi, 1962), Iwan Simatupang (Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar, 1960 dan Taman, 1964), serta Ali Audah (Hari Masih Panjang, 1963 dan menerjemahkan sebuah drama Timur Tengah, Murka).
Lingga Wisjnu adalah drama yang produktif dalam dasawarsa ini. Seperti karya Kordjomuljo, drama-drama Lingga Wisjnu tidak terlalu diperhatikan oleh kaum dramawan. Mutu drama-drama tersebut tidak menonjol. Lingga Wisjnu menulis Asal Usul Gunung Kidul, Garong Empang, Jarum Hitam, Kaki Lima, Langit Masih Biru, Menjelang Beduk Subuh.
Pengaruh Lekra merajalela sejak tahun 1959. Drama-drama mereka membela kaum tertindas seperti buruh, tani, dan nelayan, namun juga tidak jarang menyerang kaum agama. Penulis Lekra yang termasyur antara lain Pramoedya Ananta Toer (menulis Orang-orang Biru dari Banten dan Dosa) serta Utuy Tatang Sontani (menulis Si Kampeng dan Si Sapar).
Serangan para seniman Lekra menimbulkan drama-drama bertema keagamaan. Penulis drama keagamaan yang terkenal adalah Junan Helmy Nasution menulis Isra (1959), Maulid (1960), Usman Ammar (1960), Bala (1960), Dewi Masiitoh, Iman (1962), Timmadar (1963). Bachrum Kangkuti menulis Layla Majnun, Landeship, Asmara Dahana. Mohammad Diponegoro menulis Iblis. Ajip Rosidi menulis Masyitoh. Asmara Sjah menulis Mukjijat (1961), Nuralian menulis Islamnya Umar (1961), Sugilar menulis Di Meja Pahlawan Umar (1962), E. Santosa menulis Makkah Mukarramah (1962), Achjad Hamzah menulis Matinya Adam (1958), Satu Kali Satu (1960), Orang-orang Sesat (1962), Wahyu Wibisana menulis Dua Urusan, dan Hasar Basri menulis Magrib.
Pada dasawarsa ini, tiga kota di Jawa yang terkenal dengan kegiatan dramanya ialah Jakarta (ATNI dengan Asrul Sani dan Steve Liem), Bandung (STB dengan Lim dan Suyatna Anirun), Yogyakarta (ASDRAFI, Teater Maslim, Teater Kristen, Studigrup Drama Yogya dengan Harymawan, Arifin C. Noer, Moh. Diponegoro, Jasso Winarto, W. S. Rendra, dan sebagainya), dan Solo (Mansur Samin dan Mochtar Hadi).
Pada tahun 1960-1965 banyak diselenggarakan pementasan dan festival drama di kota-kota tersebut. Semua itu menunjukkan kegairahan berdrama pada waktu itu. pada akhir dasawarsa 1960-an, terjadi peristiwa teater yang cukup kontroversial. Sekitar tahun 1968, Rendra mementaskan drama minikata yang berjudul Bip-Bop, Rambate Rate Rata, Dimanakah Engkau Saudaraku, dan Tjaaat-tjaaat. Drama-drama ini hampir tidak menggunakan dialog, hanya bunyi dan tindakan saja. Ini peristiwa teater penting untuk Indonesia.
3.             Dasawarsa 1970-an
Perkembangan teater dan sastra drama tak dapat dipisahkan dari berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai kelengkapannya. Pendirian dewan itu didahului oleh pembentukan Akademik Jakarta pada tahun 1968, sebuah pusat kesenian dengan sponsor utama pemerintah DKI Jaya.
Kelahiran sastra drama 1970-an ini berasal dari pengaruh tokoh-tokoh besar drama dasawarsa 1960-an: Rendra, Arifin, dan Asrul Sani. Tokoh-tokoh ini memberikan semacam pendidikan drama secara matang dan mendalam. Pada masa 1970-an, sejak TIM berdiri, pementasan drama sangat sering terjadi, dan hanya pementasan besar saja yang dicatat sebagai peristiwa budaya. Sebagian besar sastra drama tahun 1970-an ditulis oleh para sutradara atau yang mempunyai keterlibatan dalam teater.
Banyak ditulis naskah drama yang konvensional dalam masa ini, yaitu yang jelas alurnya, perwatakan, dan persoalannya, serta mudah di identifikasi oleh pembaca atau penonton.
Rendra menulis Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan Suku Naga, Sekda, Dunia Azwar. Arifin C. Noer menulis Kapai-kapai (1970) dan Mega-mega. Kuntowijoyo menulis colest drama berjudul Tak Ada Waktu Nyonya Fatma. Vredi Kastam Arta menulis Bisul-bisul, drama dengan tema sejarah Majapahit.
Putu Wijaya adalah tokoh yang menonjol menunjukkan ciri sastra drama mutkhir. Dramanya ialah Dalam Cahaya Bulan (1964), Invalid (1964), Bila Malam Bertambah Malam (1966), Matahari yang Terakhir (1965), Burung Gagagk (1966), Tak Sampai Tiga Bulan (1963-1967), Orang-orang Malam (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Tidak (1969), Almarhum (1969). Karyanya yang mutakhir ialah Aduh (1973), Dag Dig Dug (1974), Edan, Anu, Awas, Dadap, Sandiwara, dan Lho.
Arifin C. Noer dalam dasawarsa 1970-an menunjukkan kecendrungan mutakhir pula. Karyanya Umang-umang, Orkes Madun, Tenggul, dan Sumur Tanpa Dasar.
Drama dalam dasawarsa 1970-an ini memiliki kecendrungan menoleh kepada sejarah dan mengetengahkan kehidupan kaum miskin, gelandangan, gembel. Lebih diberikan penekanan pada unsur pentasnya daripada unsur sastra. Naskahnya tidak terlalu dipenuhi kata kebuku-bukuan, tetapi kata yang spontan, cerdas, dan penuh kelakar, sambil lalu mengejek berbagai kekurangan.
4.             Dasawarsa 1980-an
Menurut S. R. H. Sitanggang dkk, (Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990: 1995) hanya terdapat sebelas naskah drama yang terbit di Indonesia dasawarsa itu. naskah-naskah tersebut terbit dalam majalah atau terbit tersendiri sebagai buku.
Kesebelas naskah drama yang terbit kurun waktu 1980-1990-an adalah:
a.    “Kemerdekaan” karya Wisran Hadi, 1990, Horison, No. 10 Th. XV, 1980, hlm. 342-344;
b.    Perguruan, karya Wisran Hadi, 1981, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
c.    “Sang Juru Nikah”, karya Alihanifah Lubis, 1983, Horison, No. 1-2, Th. XVII, 1992, hlm. 43-47;
d.   “Dalam Bayangan Tuhan Atawa Introgasi”, karya Arifin C. Noer, 1994, Horison, No. 1, Th. XIX, Desember 1984, hlm. 449-480;
e.    Bom Waktu, karya N. Riantiarno, 1986, Jakarta: Teater Koma;
f.     Dor, karya Putu Wijaya, 1986, Jakarta: Balai Pustaka;
g.    Gerr, karya Putu Wijaya, 1986, Jakarta: Balai Pustaka;
h.    Opera Kecoa, karya N. Riantiarno, 1986, Jakarta: Teater Koma;
i.      Penembahan Reso, karya W. S. Rendra, 1988, Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama;
j.      Mahkamah, karya Asrul Sani, 1988, Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama;
k.    Ken Arok, karya Salni K.M., 1990, Jakarta: Balai Pustaka.
Alur drama Indonesia modern tahun 1980-1990-an masih didominasi oleh alur konvensial, yang di dalamnya usaha pengarang untuk menyusun peristiwa ke dalam susunan sebab akibat. Para pelaku utama, baik protagonis maupun antagonis, memiliki posisi sentral bagi masyarakat di sekitarnya. Latar mencakupi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Jenis klimaks menimbulkan dampak pada tiga kemungkinan perkembangan cerita, yakni (1) penyelesaian masalah, (2) penajaman masalah, dan (3) perubahan nasib tokoh. Jenis pola hubungan antartokoh memperlihatkan pola hubungan (1) manusia dengan manusia lainnya, (2) manusia dengan masyarakatnya, (3) manusia dengan alamnya, (4) manusia dengan dirinya sendiri. Tiga jenis tema yang mendasar yakni: tema sosial, tema egois, dan tema spiritual.
C.          Usur Intrinsik Drama
1.             Tokoh
Tokoh dalam sastra drama diharapkan berkesan hidup, yaitu memiliki ciri-ciri kebadanan (usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan kondisi wajah), ciri-ciri kejiwaan (mentalitas, moral, temperamen, kecerdasan, dan kepandaian), dan ciri-ciri kemasyarakatan (status sosial, pekerjaan atau perannya dalam masyarakat, pendidikan, ideologi, kegemaran, dan kewarganegaraan.
Ada berbagai macam tokoh. Berdasarkan perannya terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Berdasarkan fungsinya terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis. Berdasarkan pengungkapan wataknya terdapat tokoh tokoh bulat (kompleks) dan tokoh datar (pipih, sederhana). Berdasarkan pengenbangan wataknya terdapat tokoh statis dan tokoh berkembang. Berdasarkan pencerminan manusia dalam dunia nyata terdapat tokoh tipikal dan tokoh netral.
Penciptaan citra tokoh atau penokohan dalam drama dilakukan dengan berbagai cara. Pengarang mungkin secara langsung mengungkapkan gambaran tentang tokoh, mungkin pula melalui cakapan tokoh, penggambaran keadaan tokoh, tingkah laku tokoh atau percakapan tokoh lainnya tentang diri si tokoh.  
2.             Alur
Hubungan antara satu peristiwa  atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa lain disebut alur atau plot (Hasanuddin WS., 2009: 90). Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat.
Jenis alur dapat dikelompokkan dengan menggunakan berbagai kriteria. Berdasarkan karakteristik alur drama terdapat alur konvensional dan alur nonkonvensional. Berdasarkan urutan waktu terdapat alur maju dan alur mundur. Berdasarkan jumlah terdapat alur tunggal dan alur jamak. Berdasarkan hubungan antarperistiwa terdapat alur erat (alur ketat atau alur padat) dan alur longgar. Berdasarkan cara pengakhirannya terdapat alur tertutup dan alur terbuka.
3.             Latar
Latar disebut juga setting atau landasan tumpu. Istilah ini mengacu pada makna tentang segala keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana peristiwa dalam karya sastra drama. Dalam pementasan, drama biasanya tidak mengemukakan latar dengan deskripsi kata-kata, tetapi dengan penampilan yang didukung oleh  seni dekorasi, seni lukis, seni patung, tata cahaya, tata bunyi (musik dan sound effect).
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas . hal ini penting untuk menciptakan kesan realistis kepada pembaca atau penonton. Latar menciptakan suasana yang seakan-akan nyata ada, yang mempermudah pembaca dalam berimajinasi. Latar juga memungkinkan pembaca atau penonton berperan secara kritis berkenaan dengan pengetahuannya mengenai latar tersebut.
4.             Tema dan Amanat
Tema yaitu ide pokok  yang ingin disampaikan dari sebuah cerita. Tema sering pula  dikatakan dengan nada dasar drama. Sebuah tema tidak terlepas dari manusia dan kehidupan, misalkan cinta, maut, dan sebagainya. Amanat yaitu pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita. Jika tema bersifat lugas, objektif, dan khusus, maka amanat lebih berisafat umum dan subjektif (Karsinem, 2013: 80-81).
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkai dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama banyak terdapat peristiwa yang masing-masing mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sabagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait  dengan latar dan ruang. Amanat merupakan opini, kecendrungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal  kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya indentik dengan pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita.

D.          Unsur Ekstrinsik Drama
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik pada karya sastra merupakan wujud murni pesan yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca.
Unsur ekstrinsik dalam drama juga mempengaruhi perkembangan dari pembentukan drama tersebut, karena drama juga merupakan benda seni yang tidak lepas dari pengaruh sosial. Unsur-unsur ekstrinsik drama yang berperan penting dalam pembentukan badan dari drama meliputi:
1.             Latar belakang kehidupan si pengarang,
2.             Pandangan, kritik, dan ide-ide si pengarang,
3.             Situasi sosial di mana karya tersebut dibangun.
Selain itu unsur ekstrinsik (unsur luar) drama adalah unsur yang tampak, seperti dialog/percakapan. Namun, setelah naskah sudah dipentaskan di sana akan tampak panggung, properti, sutradara dan penonton.
Unsur-unsur ekstrinsik dalam drama ini biasanya tidak akan lepas dari nilai-nilai sosial politik, agama, ideologi, namun sekarang ini drama yang dipertunjukkan sering kali mengasung nilai-nilai hak asasi manusia dan lainnya. Unsur-unsur dalam pementasan drama menjadikan drama tersebut sebagai simulasi realitas. Drama lekat hubungannya dengan realita sosial karya topik dan tema-tema yang diambil sebagai bahan mentah pembentukan sebuah drama adalah topik-topik yang umum terjadi dalam masyarakat kita.
Drama sebagai salah satu karya sastra yang tidak terlepas dari faktor eksternal yang membangunnya, mau tak mau secara tak sadar mampu merepresentasikan kenyataan yang terjadi dalam realita. Drama tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah karya seni kebahasaan yang dipentaskan, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat yang menikmatinya.
Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.





















BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Drama Indonesia dibagi menjadi dua fase, yaitu drama Indonesia sebelum kemerdekaan dan drama Indonesia sesudah kemerdekaan. Yang termasuk ke dalam drama Indonesia sebelum kemerdekaan adalah: (1) sastra drama Melayu rendah, (2) sastra drama Poedjangga Baroe, dan (3) sastra drama zaman Jepang. Sedangkan yang termasuk dalam drama Indonesia sesudah kemerdekaan adalah: (1) drama dasawarsa 1950-an, (2) drama dasawarsa 1960-an, (3) drama dasawarsa 1970-an, dan (4) drama dasawarsa 1980-an sampai sekarang.
Dalam karya sastra drama, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk unsur intrinsik adalah: (1) tokoh, (2) alur, (3) latar/setting, dan (4) tema dan amanat. Sedangkan yang termasuk unsur ekstrinsik drama adalah: (1) latar belakang pengarang, (2) pandangan, kritik, dan ide-ide si pengarang, dan (3) siruasi sosial di mana karya itu dibuat. Selain itu unsur ekstrinsik (unsur luar) drama adalah unsur yang tampak, seperti dialog/percakapan. Namun, setelah naskah sudah dipentaskan di sana akan tampak panggung, properti, sutradara dan penonton.

B.          Saran
Penyusun menyarankan agar makalah ini bisa dibaca dan dipahami oleh para pembaca khususnya mahasiswa dalam proses belajar mengajar untuk mata kuliah Prosa Fiksi dan Drama yang membahas tentang Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama. Penyusun juga menyarankan pembaca untuk dapat menyalurkan ilmu tentang Drama yang membahas tentang Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama dari makalah ini kepada yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Rahmanto, B., P. Hariyanto. 1999. Cerita Rekaan dan Drama: Modul Pembelajaran. Pekanbaru: Universitas Terbuka.
Sumarta, Karsinem. 2013. Bahan Ajar Keterampilan Menulis. Pekanbaru: ________
WS. Hasanuddin, 2009. Drama: Karya Dalam Dua Dimensi Kajian Teori, sejarah dan Analisis. Bandung: Angkasa.