MAKALAH
DRAMA
“Drama Indonesia
Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia Sesudah Kermerdekaan, Unsur Intrinsik
Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama”
Oleh:
Kelompok 5 (Lima)
Hariyanti
May Siska Debora
Meri Hartini
Pitri Desmita
Puji Astuti
Supi
Kelas 4/A
Dosen
Pembimbing:
SRI RAHAYU, M.Pd
PROGRAM STUDI
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
PEKANBARU
2013-2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia
Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama”. Makalah
ini disusun untuk memenuhi instruksi dari Dosen Pembimbing Sri Rahayu, M.Pd.
dan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Prosa Fiksi dan Drama dengan maksud
agar mampu memahami Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia
Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama. Makalah
ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena
itu, penyusun sangat mengharapkan kritik atau saran yang konstruktif untuk
perbaikan pada masa yang akan datang. Terlepas dari segala kekurangan, penyusun
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dari pihak-pihak yang memerlukan.
Pekanbaru,
Februari 2013
Penyusun
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI ..................................................................................................
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................
A. Latar Belakang
......................................................................................
B. Rumusan
Masalah .................................................................................
C. Tujuan ...................................................................................................
|
1
1
1
1
|
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................
A. Drama Indonesia Sebelum Kemerdekaan .............................................
B. Drama Indonesia Sesudah Kemerdekaan ..............................................
C. Unsur Intrinsik Drama
..........................................................................
D. Unsur Ekstrinsik Drama ........................................................................
|
2
2
6
11
13
|
BAB III PENUTUP .......................................................................................
A. Keimpulan .............................................................................................
B. Saran
......................................................................................................
|
15
15
15
|
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................
|
16
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Unsur suatu
genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding genre puisi ataupun genra
fiksi. Kesan dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada bentuk karya
yang bereaksi langsung secara konkret. Kekhususan drama disebabkan oleh tujuan
drama pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa
untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti
diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak
dan perilaku konkret yang dapat disaksikan kekhususannya inilah yang kemudian
menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai
suatu karya yang berorientasi kepada seni pertunjukan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan drama Indonesia sebelum kemerdekaan?
2.
Bagaimana
perkembangan drama Indonesia sesudah kemerdekaan?
3.
Apa
saja yang termasuk unsur intrinsik drama?
4.
Apa
saja yang termasuk unsur ekstrinsik drama?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
perkembangan drama Indonesia sebelum kemerdekaan.
2.
Menjelaskan
perkembangan drama Indonesia sesudah kemerdekaan.
3.
Menjelaskan
unsur intrinsik drama.
4.
Menjelaskan
unsur ekstrinsik drama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Drama Indonesia Sebelum Kemerdekaan
1.
Sastra Drama Melayu Rendah
Sastra drama
muncul karena adanya perkumpulan drama modern di Indonesia. Drama modern atau
teater Barat muncul di Indonesia sekitar pertengahan abad ke-19 di kalangan
masyarakat Belanda dan peranakannya. Segala bentuk kesenian ini berkembang
dikalangan masyarakat Tionghoa dan peranakannya. Dan akhirnya drama modern
masuk di lingkungan masyarakat kota Indonesia sendiri.
Berbeda dengan
drama atau teater tradisional, teater Barat atau drama modern memerlukan naskah
tertulis. Itulah sebabnya, perkembangan teater modern mendorong pula
perkembangan bentuk sastra drama.
Naskah drama
tertua di Indonesia adalah karya F. Wiggers. Lelakon Raden Beij Soerio Retno,
yang diterbitkan pada tahun 1901. Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia
ialah Komedi Stamboel, muncul pada tahun 1891. Sejak itu hingga tahun 1983
telah muncul dan berkembang lebih dari 30 grup teater modern dan ditulis lebih
dari 400 naskah drama di Indonesia.
Rombongan
pertama drama modern Indonesia, Komedi Stamboel, dibentuk di Surabaya pada
tahun 1891 oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Rombongan ini sampai
dengan tahun1901 belum melahirkan naskah tertulis, pementasannya masih bersifat
improvisasi, tanpa teks tertulis. Baru pada tahun 1901, pengarang F. Wiggers
menulis sastra drama yang pertama, berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno
dalam bentuk satu babak.
Sastra drama
asli yang benar-benar modern bentuknya adalah karya Kwee Tek Hoay (KTH),
berjudul Allah Jang Palsoe, terbit pada tahun 1919, dicetak sebanyak
2000 eksempiar. Teks drama ini ternyata merupakan saduran dari drama karangan
E. Phillips Oppeinheim yang berjudul The False Gods. Setelah ini terbit
karya sastra Melayu Tionghoa.
Selama
sejarahnya, terdapat 27 orang penulis drama Tionghoa. Mereka menghasilkan
sekitar 78 karya sastra drama yang banyak dipentaskan oleh
organisasi-organisasi Tionghoa dan juga oleh rombongan drama Dardanella. Para
penulis drama itu memang bukan aktivis kelompok drama. Kebanyakan mereka dari
luar rombongan pementas drama.
Para penulis
tersebut mengambil bahan cerita dari kejadian sensasional dilingkungan mereka,
baik dalam masyarakat Tionghoa maupun Indonesia. Kematian pada akhir cerita
banyak terjadi, yaitu peristiwa bunuh diri. Dengan demikian, jenis tragedi
banyak ditulis.
Tema drama
Tionghoa dalam bahasa Melayu rendah ini pada umumnya bersifat didaktis.
Pertunjukan drama merupakan sarana mendidik masyarakat untuk mengikuti
norma-norma susila tertentu. Misalnya dalam drama Lauw Giok Lan, Pendidikan
Jang Kliroe, 1932, diajarkan bahwa memanjakan anak itu salah.
Hanya 6 orang dari
27 penulis yang benar-benar berniat menjadi penulis drama. Mereka adalah Ang
Jan Goan, Kwee Tek Hoay, Oen Thjing Tiauw, Ong Pik Lok, Pous Kiouw An, dan Tan
Boen San.
Meskipun tidak
banyak, pada masa ini telah ditulis pula drama terjemahan dari Eropa. Misalnya Romeo
dan Juliet karya William Shakespeare diterjemahkan oleh Pouw Kioe An pada
tahun 1936. Sedap Malem (karya Alexandre Dumas) dan Cato (karya
Joseph Addison) adalah hasil terjemahan Kwee Tak Hoay (1930). The Enemy Of
The People karya Henrik Ibsen diterjemahkan menjadi Moesoenja Orang
Banjak oleh Ang Jan Goan (1923).
Berdasarkan
tahun-tahun penerbitan naskah-naskah tersebut terlihatlah bahwa zaman emas
sastra drama Tionghoa dalam bahasa Melayu rendah ini terjadi pada pertengahan tahun
1920-an dan sepanjang dasawarsa 1930-an. Zaman ini merupakan permulaan
kemunculan sastra drama Indonesia.
2.
Sastra Drama Poedjangga Baroe
Bebasari, terbit tahun 1926, merupakan karya sastra drama pertama
yang ditulis dalam bahasa Indonesia standar oleh orang Indonesia, Roestam
Effendi, penyair Poedjangga Baroe. Bila sastra drama orang Tionghoa kebanyakan
berdialog dengan bentuk prosa, dialog dalam Bebasari ditulis dalam bentuk
sajak.
Seluruh drama ini bersifat simbolik. Bebasari putri yang menjadi
tawanan Rawana, melambangkan Indonesia yang berada dalam cengkraman penjajah
Belanda. Budjangga, pahlawan pembebas Bebasari, melambangkan pemuda kaum
intelektualnya Indonesia. Setelah hilang bimbangnya, Budjangga berhasil
melepaskan Bebasari dari cengkraman Rawana.
Cuplikan naskah drama Bebasari karya Rustam Effendi:
Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan
Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan
Dengarlah peluk asmara hamba
Kilatkan jaya kekasih hati
Isi cerita
Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri,
setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya,
Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak
sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati
berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan,
dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi
penjajah durjana.
Drama ini
agaknya memang dimaksudkan khusus sebagai karya sastra, untuk dibaca (Closet
drama), bukan untuk dipentaskan. Bentuk sajak yang dipakainya dalam hal itu
dipengaruhi oleh Shakespeare. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah
Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena
karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Hampir seluruh
sastra drama Poedjangga Baroe memiliki ciri-ciri berikut: berbentuk puisi,
mementingkan gaya sastra daripada dramatiknya, dan mengambil tema dari sejarah.
Drama-drama
ini rupanya ditulis sebagai penyalur rasa tertekan kaum intelektual oleh
tindasan penjajah terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930. Karena semangat
kebangsaan kaum muda yang sedang tumbuh ini tidak tersalurkan, lahirlah
pelarian ke masa silam dan pada idiom lambang-lambang.
Drama
Pujangga baru telah menggunakan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Melayu.
Ketika itu, publik dengan bahasa tersebut masih terbatas dikalangan intelektual
saja. Nilai-nilai di dalamnya juga baru dapat dipahami oleh kaum terpelajar
yang berjiwa nasional.
3.
Sastra Drama Zaman Jepang
Kehidupan
sandiwara atau teater modern pada zaman jepang (1942-1945) ternyata lebih
semarak. Pada masa ini berkembang rombongan sandiwara keliling “Miss Riboet”
(Solo). “Miss Tjijih” yang kemudian diganti dengan nama “Tjahaja Asia” dan
sebagainya. Rombongan-rombongan ini mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia,
Jawa, maupun Sunda.
Rombongan
sandiwara berbahasa Indonesia memang paling banyak dan mementaskan cerita yang
amat populer di kalangan penonton. Hanya saja pertunjukannya masih bersifat improvisasi
(tanpa persiapan). Sastra drama mulai dikenal oleh rombongan-rombongan tersebut
ketika pemerintah Jepang mendirikan perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (P.O.D)
pada tanggal 15 januari 1945, dan mulai menyensor keras setiap pementasan.
Sejak itu,
pemerintah Jepang mewajibkan setiap pementasan sandiwara disertai naskah
lengkap. Setelah melewati sensor jepang, naskah itu harus dipentaskan dengan
tanpa perubahan. Akibatnya, banyakn naskah drama yang bersifat propaganda.
Naskah drama yang muncul pada masa ini antara lain sebagai berikut: Amat
Heihi, Pecah sebagai Ratna, dan Bende Mataram karya Katot Sukardi; Benteng
Ngawi, karya Heinatsu Eitaro alias Dr. Huyung, orang korea; Hantu
perempuan karya Armijn Pane; Ibu prajurit karya Natsusaki Tani;
serta Bunga Alam karya D. Suradji.
Sebagian
karya Armijn Pane bersifat propaganda Jepang, misalnya Kami Perempuan.
Karyanya juga berisi konflik kejiwaan yang bersifat romantis, misalnya Antara
Bumi Dan Langit serta Jinak-Jinak Merpati.
B.
Drama Indonesia Sesudah
Kemerdekaan
1.
Dasawarsa 1950-an
Masa ini ditandai oleh semakin berkurangnya keberadaan rombongan
drama profesional komersial dan makin berkembangnya rombongan drama penggemar
amatir. Rombongan drama profesional menekankan segi hiburan, tanpa teks sastra
drama, dan pementasannya diselingi nyanyian, tarian, serta kadang-kadang
lawakan. Rombongan drama amatir bersandar pada sastra drama. Pementasannya
berdasarkan kaidah-kaidah teater modern barat. Banyaknya grup amatir ini
merangsang kegiatan penulisan sastra drama. Dasawarsa 1950-an ini ditandai oleh
produktivitas sastra Indonesia.
Utuy Tatang Gontaani adalah tokoh yang amat menonjol dalam kualitas
dan produktivitas sastra drama. Karya dramanya: Awal dan Mira (1951), Manusia
Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain
(1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur
(1956), Saat yang Genting (1957), Di Muka Kaca (1957), Pengakuan
(1957), Sangkuriang (1955), Si
Kabayan (1959), Segumpal Daging Bernyawa (1961), dan Tak Pernah
Menjadi Tua (1963).
Kirdjomuljo adalah seorang penulis drama yang produktif, namun
sedikt sekali karyanya yang dipublikasikan. Dramanya yang telah dipublikasikan
melalui majalah adalah Nona Maryam (1955), Penggali Kapur (1956),
dan Penggali Intan (1957). Sekitar 26 drama sebabaknya belum pernah
diterbitkan.
Nasjah Djamin mempublikasikan drama-drama berikut: Titik-titik
Hitam (1956), Sekelumat Nyanyian Sunda (1959), Jembatan Gondolayu
(1959), Misbach Jusa Biran menulis Bung Besar (1959) dan Anakku
Sayang. Mutinggo Busje menerbitkan Badai
Sampai Sore (1958) dan Malam Jahannam (1959). Banyak sastra drama
yang ditulis oleh grup-grup drama untuk keperluan pementasannya dan belum
dipublikasikan. Endang Achmadi (Teater Bogor) menulis Pahlawan Kelana
(1952), Wanita (1954), Sebuah Dunia (1957), Dua Dunia
(1958), Terkepung (1958).
Pada akhir tahun 1950-an, Rendra telah menulis dan mementaskan
karya-karya berikut: Orang-orang di Tikungan Jalan, Bunga Semerah Daranh,
Lelaki-lelaki Tanah Kapur, dan Dataran Lembah Duka. Kadarusman Achil
menulis drama-drama pendek: Lebih Primitif Orang Utan, Losmen ini Akan
Dijual, Hadiah dari Tetangga, Kutub-kutub, Jeritan Raksasa, Jambangan
Bunga, Bejana, dan Suri Suryati. Para sastrawan yang mapan ikut pula
mendukung produktivitas drama yang luar biasa dalam tahun 1950-an ini. Rijono
Pratikto menulis Yang Pulang. Trisnoyuwono menulis Kemunangan.
Bachtian Siagian menulis Batu Merak, Lembah Merapi, Lorong Belakang, dan
sebagainya. Agam Wispi menulis Gerbong. Bakri Siregar menulis Gadis Berambut
Putih. A. Bastari Asnin menulis Komidi di Alam Baka.
Sastra drama tahun 1950-an kebanyakan berupa drama sebabak.
Kemungkinan penyebabnya antara lain:
a.
Banyak
penulis drama yang baru mulai belajar menulis.
b.
Seperti
pada umumnya dasawarsa itu, yang hanya menghasilkan puisi dan cerita pendek di
majalah-majalah.
c.
Sifat
amatirisme grup-grup drama yang baru maupun mementaskan drama pendek dengan
biaya kecil.
d.
Grup-grup
drama baru dalam taraf belajar.
2.
Dasawarsa 1960-an
Penulis-penulis yang muncul dalam dasawarsa ini ialah Bambang S. (Domba-domba
Revolusi, 1962), Iwan Simatupang (Buah Delima dan Bulan Bujur
Sangkar, 1960 dan Taman, 1964), serta Ali Audah (Hari Masih
Panjang, 1963 dan menerjemahkan sebuah drama Timur Tengah, Murka).
Lingga Wisjnu adalah drama yang produktif dalam dasawarsa ini.
Seperti karya Kordjomuljo, drama-drama Lingga Wisjnu tidak terlalu diperhatikan
oleh kaum dramawan. Mutu drama-drama tersebut tidak menonjol. Lingga Wisjnu
menulis Asal Usul Gunung Kidul, Garong Empang, Jarum Hitam, Kaki Lima,
Langit Masih Biru, Menjelang Beduk Subuh.
Pengaruh Lekra merajalela sejak tahun 1959. Drama-drama mereka
membela kaum tertindas seperti buruh, tani, dan nelayan, namun juga tidak
jarang menyerang kaum agama. Penulis Lekra yang termasyur antara lain Pramoedya
Ananta Toer (menulis Orang-orang Biru dari Banten dan Dosa) serta
Utuy Tatang Sontani (menulis Si Kampeng dan Si Sapar).
Serangan para seniman Lekra menimbulkan drama-drama bertema
keagamaan. Penulis drama keagamaan yang terkenal adalah Junan Helmy Nasution
menulis Isra (1959), Maulid (1960), Usman Ammar (1960), Bala
(1960), Dewi Masiitoh, Iman (1962), Timmadar (1963). Bachrum
Kangkuti menulis Layla Majnun, Landeship, Asmara Dahana. Mohammad
Diponegoro menulis Iblis. Ajip Rosidi menulis Masyitoh. Asmara
Sjah menulis Mukjijat (1961), Nuralian menulis Islamnya Umar
(1961), Sugilar menulis Di Meja Pahlawan Umar (1962), E. Santosa menulis
Makkah Mukarramah (1962), Achjad Hamzah menulis Matinya Adam
(1958), Satu Kali Satu (1960), Orang-orang Sesat (1962), Wahyu
Wibisana menulis Dua Urusan, dan Hasar Basri menulis Magrib.
Pada dasawarsa ini, tiga kota di Jawa yang terkenal dengan kegiatan
dramanya ialah Jakarta (ATNI dengan Asrul Sani dan Steve Liem), Bandung (STB
dengan Lim dan Suyatna Anirun), Yogyakarta (ASDRAFI, Teater Maslim, Teater
Kristen, Studigrup Drama Yogya dengan Harymawan, Arifin C. Noer, Moh.
Diponegoro, Jasso Winarto, W. S. Rendra, dan sebagainya), dan Solo (Mansur
Samin dan Mochtar Hadi).
Pada tahun 1960-1965 banyak diselenggarakan pementasan dan festival
drama di kota-kota tersebut. Semua itu menunjukkan kegairahan berdrama pada
waktu itu. pada akhir dasawarsa 1960-an, terjadi peristiwa teater yang cukup
kontroversial. Sekitar tahun 1968, Rendra mementaskan drama minikata yang
berjudul Bip-Bop, Rambate Rate Rata, Dimanakah Engkau Saudaraku, dan
Tjaaat-tjaaat. Drama-drama ini hampir tidak menggunakan dialog, hanya bunyi dan
tindakan saja. Ini peristiwa teater penting untuk Indonesia.
3.
Dasawarsa 1970-an
Perkembangan teater dan sastra drama tak dapat dipisahkan dari
berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan Taman Ismail Marzuki (TIM)
sebagai kelengkapannya. Pendirian dewan itu didahului oleh pembentukan Akademik
Jakarta pada tahun 1968, sebuah pusat kesenian dengan sponsor utama pemerintah
DKI Jaya.
Kelahiran sastra drama 1970-an ini berasal dari pengaruh
tokoh-tokoh besar drama dasawarsa 1960-an: Rendra, Arifin, dan Asrul Sani.
Tokoh-tokoh ini memberikan semacam pendidikan drama secara matang dan mendalam.
Pada masa 1970-an, sejak TIM berdiri, pementasan drama sangat sering terjadi,
dan hanya pementasan besar saja yang dicatat sebagai peristiwa budaya. Sebagian
besar sastra drama tahun 1970-an ditulis oleh para sutradara atau yang
mempunyai keterlibatan dalam teater.
Banyak ditulis naskah drama yang konvensional dalam masa ini, yaitu
yang jelas alurnya, perwatakan, dan persoalannya, serta mudah di identifikasi
oleh pembaca atau penonton.
Rendra menulis Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan
Suku Naga, Sekda, Dunia Azwar. Arifin C. Noer menulis Kapai-kapai
(1970) dan Mega-mega. Kuntowijoyo menulis colest drama berjudul Tak
Ada Waktu Nyonya Fatma. Vredi Kastam Arta menulis Bisul-bisul, drama
dengan tema sejarah Majapahit.
Putu Wijaya adalah tokoh yang menonjol menunjukkan ciri sastra
drama mutkhir. Dramanya ialah Dalam Cahaya Bulan (1964), Invalid
(1964), Bila Malam Bertambah Malam (1966), Matahari yang Terakhir
(1965), Burung Gagagk (1966), Tak Sampai Tiga Bulan (1963-1967), Orang-orang
Malam (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Tidak (1969), Almarhum
(1969). Karyanya yang mutakhir ialah Aduh (1973), Dag Dig Dug
(1974), Edan, Anu, Awas, Dadap, Sandiwara, dan Lho.
Arifin C. Noer dalam dasawarsa 1970-an menunjukkan kecendrungan
mutakhir pula. Karyanya Umang-umang, Orkes Madun, Tenggul, dan Sumur Tanpa
Dasar.
Drama dalam dasawarsa 1970-an ini memiliki kecendrungan menoleh
kepada sejarah dan mengetengahkan kehidupan kaum miskin, gelandangan, gembel.
Lebih diberikan penekanan pada unsur pentasnya daripada unsur sastra. Naskahnya
tidak terlalu dipenuhi kata kebuku-bukuan, tetapi kata yang spontan, cerdas,
dan penuh kelakar, sambil lalu mengejek berbagai kekurangan.
4.
Dasawarsa 1980-an
Menurut S. R. H. Sitanggang dkk, (Struktur Drama Indonesia Modern
1980-1990: 1995) hanya terdapat sebelas naskah drama yang terbit di Indonesia
dasawarsa itu. naskah-naskah tersebut terbit dalam majalah atau terbit
tersendiri sebagai buku.
Kesebelas naskah drama yang terbit kurun waktu 1980-1990-an adalah:
a.
“Kemerdekaan”
karya Wisran Hadi, 1990, Horison, No. 10 Th. XV, 1980, hlm. 342-344;
b.
Perguruan,
karya Wisran Hadi, 1981, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
c.
“Sang
Juru Nikah”, karya Alihanifah Lubis, 1983, Horison, No. 1-2, Th. XVII, 1992,
hlm. 43-47;
d.
“Dalam
Bayangan Tuhan Atawa Introgasi”, karya Arifin C. Noer, 1994, Horison, No. 1,
Th. XIX, Desember 1984, hlm. 449-480;
e.
Bom
Waktu, karya N. Riantiarno, 1986, Jakarta: Teater Koma;
f.
Dor,
karya Putu Wijaya, 1986, Jakarta: Balai Pustaka;
g.
Gerr,
karya Putu Wijaya, 1986, Jakarta: Balai Pustaka;
h.
Opera
Kecoa, karya N. Riantiarno, 1986, Jakarta: Teater Koma;
i.
Penembahan
Reso, karya W. S. Rendra, 1988, Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama;
j.
Mahkamah,
karya Asrul Sani, 1988, Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama;
k.
Ken
Arok, karya Salni K.M., 1990, Jakarta: Balai Pustaka.
Alur drama Indonesia modern tahun 1980-1990-an masih didominasi
oleh alur konvensial, yang di dalamnya usaha pengarang untuk menyusun peristiwa
ke dalam susunan sebab akibat. Para pelaku utama, baik protagonis maupun
antagonis, memiliki posisi sentral bagi masyarakat di sekitarnya. Latar mencakupi
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Jenis klimaks menimbulkan dampak
pada tiga kemungkinan perkembangan cerita, yakni (1) penyelesaian masalah, (2)
penajaman masalah, dan (3) perubahan nasib tokoh. Jenis pola hubungan
antartokoh memperlihatkan pola hubungan (1) manusia dengan manusia lainnya, (2)
manusia dengan masyarakatnya, (3) manusia dengan alamnya, (4) manusia dengan
dirinya sendiri. Tiga jenis tema yang mendasar yakni: tema sosial, tema egois,
dan tema spiritual.
C.
Usur Intrinsik Drama
1.
Tokoh
Tokoh dalam sastra drama diharapkan berkesan hidup, yaitu memiliki
ciri-ciri kebadanan (usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan kondisi wajah),
ciri-ciri kejiwaan (mentalitas, moral, temperamen, kecerdasan, dan kepandaian),
dan ciri-ciri kemasyarakatan (status sosial, pekerjaan atau perannya dalam
masyarakat, pendidikan, ideologi, kegemaran, dan kewarganegaraan.
Ada berbagai macam tokoh. Berdasarkan perannya terdapat tokoh utama
dan tokoh tambahan. Berdasarkan fungsinya terdapat tokoh protagonis, antagonis,
dan tritagonis. Berdasarkan pengungkapan wataknya terdapat tokoh tokoh bulat
(kompleks) dan tokoh datar (pipih, sederhana). Berdasarkan pengenbangan
wataknya terdapat tokoh statis dan tokoh berkembang. Berdasarkan pencerminan
manusia dalam dunia nyata terdapat tokoh tipikal dan tokoh netral.
Penciptaan citra tokoh atau penokohan dalam drama dilakukan dengan
berbagai cara. Pengarang mungkin secara langsung mengungkapkan gambaran tentang
tokoh, mungkin pula melalui cakapan tokoh, penggambaran keadaan tokoh, tingkah
laku tokoh atau percakapan tokoh lainnya tentang diri si tokoh.
2.
Alur
Hubungan antara satu peristiwa
atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa lain disebut alur atau plot
(Hasanuddin WS., 2009: 90). Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau
sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan
kaitan sebab akibat.
Jenis alur dapat dikelompokkan dengan menggunakan berbagai
kriteria. Berdasarkan karakteristik alur drama terdapat alur konvensional dan
alur nonkonvensional. Berdasarkan urutan waktu terdapat alur maju dan alur
mundur. Berdasarkan jumlah terdapat alur tunggal dan alur jamak. Berdasarkan
hubungan antarperistiwa terdapat alur erat (alur ketat atau alur padat) dan
alur longgar. Berdasarkan cara pengakhirannya terdapat alur tertutup dan alur
terbuka.
3.
Latar
Latar disebut juga setting atau landasan tumpu. Istilah ini mengacu
pada makna tentang segala keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana
peristiwa dalam karya sastra drama. Dalam pementasan, drama biasanya tidak
mengemukakan latar dengan deskripsi kata-kata, tetapi dengan penampilan yang
didukung oleh seni dekorasi, seni lukis,
seni patung, tata cahaya, tata bunyi (musik dan sound effect).
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas . hal ini
penting untuk menciptakan kesan realistis kepada pembaca atau penonton. Latar
menciptakan suasana yang seakan-akan nyata ada, yang mempermudah pembaca dalam
berimajinasi. Latar juga memungkinkan pembaca atau penonton berperan secara
kritis berkenaan dengan pengetahuannya mengenai latar tersebut.
4.
Tema dan Amanat
Tema yaitu ide pokok yang
ingin disampaikan dari sebuah cerita. Tema sering pula dikatakan dengan nada dasar drama. Sebuah
tema tidak terlepas dari manusia dan kehidupan, misalkan cinta, maut, dan
sebagainya. Amanat yaitu pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah
cerita. Jika tema bersifat lugas, objektif, dan khusus, maka amanat lebih
berisafat umum dan subjektif (Karsinem, 2013: 80-81).
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa,
penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan
pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari
berbagai peristiwa yang terkai dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama
banyak terdapat peristiwa yang masing-masing mengemban permasalahan, tetapi
hanya ada sebuah tema sabagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut.
Permasalahan ini dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh
ceritanya yang terkait dengan latar dan
ruang. Amanat merupakan opini, kecendrungan, dan visi pengarang terhadap tema
yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian
amanat pada dasarnya indentik dengan pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat
juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan
ruang cerita.
D.
Unsur Ekstrinsik Drama
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar
struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. Unsur
ekstrinsik pada karya sastra merupakan wujud murni pesan yang ingin disampaikan
pengarang pada pembaca.
Unsur ekstrinsik dalam drama juga mempengaruhi perkembangan dari
pembentukan drama tersebut, karena drama juga merupakan benda seni yang tidak
lepas dari pengaruh sosial. Unsur-unsur ekstrinsik drama yang berperan penting
dalam pembentukan badan dari drama meliputi:
1.
Latar
belakang kehidupan si pengarang,
2.
Pandangan,
kritik, dan ide-ide si pengarang,
3.
Situasi
sosial di mana karya tersebut dibangun.
Selain itu unsur ekstrinsik (unsur luar) drama adalah unsur yang
tampak, seperti dialog/percakapan. Namun, setelah naskah sudah dipentaskan di
sana akan tampak panggung, properti, sutradara dan penonton.
Unsur-unsur ekstrinsik dalam drama ini biasanya tidak akan lepas
dari nilai-nilai sosial politik, agama, ideologi, namun sekarang ini drama yang
dipertunjukkan sering kali mengasung nilai-nilai hak asasi manusia dan lainnya.
Unsur-unsur dalam pementasan drama menjadikan drama tersebut sebagai simulasi
realitas. Drama lekat hubungannya dengan realita sosial karya topik dan
tema-tema yang diambil sebagai bahan mentah pembentukan sebuah drama adalah
topik-topik yang umum terjadi dalam masyarakat kita.
Drama sebagai salah satu karya sastra yang tidak terlepas dari
faktor eksternal yang membangunnya, mau tak mau secara tak sadar mampu
merepresentasikan kenyataan yang terjadi dalam realita. Drama tidak lagi hanya
dipandang sebagai sebuah karya seni kebahasaan yang dipentaskan, tetapi juga
sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat yang menikmatinya.
Dengan demikian, unsur ekstrinsik
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra.
Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada
akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang
mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat
karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan
masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Drama Indonesia dibagi menjadi dua fase, yaitu drama Indonesia
sebelum kemerdekaan dan drama Indonesia sesudah kemerdekaan. Yang termasuk ke
dalam drama Indonesia sebelum kemerdekaan adalah: (1) sastra drama Melayu
rendah, (2) sastra drama Poedjangga Baroe, dan (3) sastra drama zaman Jepang.
Sedangkan yang termasuk dalam drama Indonesia sesudah kemerdekaan adalah: (1)
drama dasawarsa 1950-an, (2) drama dasawarsa 1960-an, (3) drama dasawarsa
1970-an, dan (4) drama dasawarsa 1980-an sampai sekarang.
Dalam karya sastra drama, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Yang termasuk unsur intrinsik adalah: (1) tokoh, (2) alur, (3) latar/setting,
dan (4) tema dan amanat. Sedangkan yang termasuk unsur ekstrinsik drama adalah:
(1) latar belakang pengarang, (2) pandangan, kritik, dan ide-ide si pengarang,
dan (3) siruasi sosial di mana karya itu dibuat. Selain itu unsur ekstrinsik
(unsur luar) drama adalah unsur yang tampak, seperti dialog/percakapan. Namun,
setelah naskah sudah dipentaskan di sana akan tampak panggung, properti,
sutradara dan penonton.
B.
Saran
Penyusun
menyarankan agar makalah ini bisa dibaca dan dipahami oleh para pembaca
khususnya mahasiswa dalam proses belajar mengajar untuk mata kuliah Prosa Fiksi
dan Drama yang membahas tentang Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama
Indonesia Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik
Drama. Penyusun juga menyarankan pembaca untuk dapat menyalurkan ilmu tentang
Drama yang membahas tentang Drama Indonesia Sebelum kemerdekaan, Drama Indonesia
Sesudah Kerserdekaan, Unsur Intrinsik Drama, dan Unsur Ekstrinsik Drama dari
makalah ini kepada yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmanto, B.,
P. Hariyanto. 1999. Cerita Rekaan dan Drama: Modul Pembelajaran. Pekanbaru:
Universitas Terbuka.
Sumarta, Karsinem.
2013. Bahan Ajar Keterampilan Menulis. Pekanbaru: ________
WS. Hasanuddin,
2009. Drama: Karya Dalam Dua Dimensi Kajian Teori, sejarah dan Analisis.
Bandung: Angkasa.